MEMBANGUN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL
MENUJU
DEMOKRASI IDEAL
DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
DOSEN PENGAMPU
Drs. AS.
MARTADANI NOOR, MA

DISUSUN OLEH KELOMPOK II
1. ANIS
PURWANINGSIH NIM. 131312176
2.
SATRIO
MUSTIKANING PRAJURIT NIM. 131312141
3.
BAMBANG IDAYAT NIM. 131312174
4.
INDRI MARWATI NIM.
131312175
5.
RATRI SUCI
NAZARANI NIM.
142312270
6.
FIRMAN PRIBADI NIM. 131312178
7.
SUMANTRI NIM.
131312165
8.
SUMARTININGSIH NIM. 131312179
9. SUNARDI NIM. 131312152
10. BUDI ISTI WIJAYANTI NIM. 142312272
JURUSAN ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIDYA
MATARAM YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita
panjatkan kepada Allah
Subhanahuwataala. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam, karena atas hidayah-Nyalah tugas ini
dapat diselesaikan. Tugas ini penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Sistem Sosial dan Budaya Indonesia,
Bapak Drs. AS. Martadani
Noor, MA sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Drs.
AS. Martadani Noor, MA yang telah berjasa mencurahkan ilmunya kepada penulis.
Penulis memohon
kepada Bapak dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan
atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mambangun kepada semua
pembaca demi lebih baiknya tugas-tugas yang akan datang.
Yogyakarta, 14 januari 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................... 1
I.1.
LATAR BELAKANG .................................................................................... 1
I.2.
TUJUAN .......................................................................................................... 5
I.3.
RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
...................................................................................... 6
II.1.
PENGERTIAN .............................................................................................. 6
II.1.1.
Pengertian Etika ........................................................................................... 6
II.1.2.
Pengertian Koalisi ........................................................................................ 6
II.2.
SEJARAH KOALISI INDONESIA ............................................................. 8
II.3.
DEMOKRASI KONSENSUS SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI IDEAL DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK............................................................................................................. 9
II.3.1.
Dasar Pemikiran Demokrasi Konsesus: Landasan Teori ........................... 10
II.3.2.
Prinsip Demokrasi Konsensus: Landasan Teori ........................................ 10
II.4.
PENERAPAN DEMOKRASI KONSENSUS DI INDONESIA ............. 11
II.5.
GAMBARAN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL ....................... 15
II.6.
MEMBANGUN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL MENUJU
DEMOKRASI
YANG IDEAL ........................................................................... 18
BAB III PENUTUP
........................................................................................... 20
III.1.
KESIMPULAN .......................................................................................... 20
III.2.
SARAN ...................................................................................................... 21
DAFTAR
PUSTAKA .......................................................................................... 22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
LATAR
BELAKANG
Dalam
literatur administrasi publik dan ilmu politik, selalu diingatkan sisi etika
dari administrasi publik. Memang dari hari ke hari selalu muncul pelanggaran
etika atau misconduct di dalam
instansi pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia. Yang dimaksud etika di sini
adalah nilai-nilai moral, nilai-nilai baik yang wajib dilakukan manusia, bila
ingin dihargai dalam pergaulan masyarakat yang beradab. Etika dapat diartikan
sebagai tata susila dan nilai-nilai sopan santun dalam pergaulan hidup manusia
baik dalam hubungan keluarga bertetangga maupun dalam pergaulan masyarakat
luas.
Bilamana
kita tidak melaksanakan nilai-nilai moral dengan baik, maka kita tidak akan
mendapatkan sanksi langsung baik oleh orang lain, masyarakat atau negara
melainkan akan mendapatkan penilaian orang lain yang tidak baik. Berbeda dengan
norma hukum yang apabila seseorang melanggarnya akan langsung ditindak oleh
aparat hukum dan diproses sesuai hukum positif yang ada dan mendapatkan sanksi
yang akan menimpa pelanggar tersebut, baik berupa sanksi badan (penjara)
ataupun denda yang akan langsung dirasakan bagi mereka.
Dalam
kenyataan di lapangan masih banyak ditemui para administrator dalam membuat
kebijakan cenderung didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di luar
rasionalitas atau di luar pertimbangan ekonomi dan efisiensi. Para
administrator ternyata dalam membuat keputusan atau kebijakan masih banyak
dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis, hal tersebut sangat menentukan
dampak pada keputusan yang mereka buat.
Akhir-akhir
ini sering sekali kita mendengar semacam keluhan atau ungkapan keprihatinan
dari beberapa pihak bahwa partai-partai politik cenderung mengutamakan
kepentingannya sendiri. Partai-partai politik kita, pada kenyataannya, tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Sejumlah
penilaian juga banyak diajukan, antara lain, bahwa partai-partai politik tidak memiliki visi dan misi yang jelas, atau malah belum berfungsi
sebagaimana mestinya sebagai sebuah partai politik modern. Diajukan pula oleh
berbagai pihak sejumlah “bukti” dimana para politisi sibuk dengan urusan dan
kepentingannya sendiri, bahkan ada pula yang benar atau salah mulai
terlihat melakukan tindak penyelewengan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan partai politik itu sendiri.
Partai politik telah dikatakan telah tereduksi menjadi semata-mata kendaraan
untuk berburu kekuasaan, dengan mengorbankan nasib rakyat. Bidang politik belum
dipandang sebagai lapangan perjuangan dan pengabdian untuk rakyat, bangsa dan
negara, serta menegakkan yang benar dan mencegah yang munkar. Politik
semata-mata dipahami sebagai politik rendah (low politics), yakni
politik yang cenderung hanya untuk meraih kekuasaan.
Kebenaran
dari semua penilaian, kritik, keluhan, atau keprihatinan semacam itu tentunya
masih memerlukan pengkajian yang lebih adil dan serius. Tetapi jika apa yang
disinyalir oleh banyak kalangan ini benar-benar terjadi maka tentu ini sebuah
ironi yang luar biasa. Sebab sebuah partai politik itu didirikan adalah sebagai
wahana (vehicle) untuk menuangkan kepentingan rakyat.
Sebuah partai politik didirikan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat yang riil,
dan hanya bisa bertahan jika masih mendapatkan dukungan rakyat. Hanya oleh
karena masih dipercaya rakyat sebuah partai politik mendapatkan dukungan
rakyat. Jika sebuah partai tidak lagi mendapatkan dukungan rakyat,
dimana bentuk dukungan ini ditunjukkan dalam pemilu, maka partai itu tidak akan
survive atau bertahan hidup dan itu
berarti berakhir eksistensinya. Dalam konteks, ini maka ironis jika
partai yang didirikan dengan semangat untuk rakyat itu disinyalir sebagai tidak
lagi memperjuangkan kepentingan rakyat. Disini ada semacam contradictio in ternimis, atau pertentangan dalam dirinya sendiri.
Sebab, sekali sebuah partai politik tidak lagi memperjuangkan kepentingan
rakyat maka berarti bukan lagi sebuah partai politik. Partai politik pada
hakekatnya adalah kekuatan rakyat yang terorganisir secara rapi dan sistematis
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sebagai
sebuah organisasi yang didirikan oleh kekuatan-kekuatan riil dalam masyarakat,
maka sebuah partai tentu memiliki visi, misi, dan platform politiknya sendiri
sebagaimana mestinya sebuah partai politik yang moderen.
Sebagaimana
kita ketahui sebuah partai politik dalam pengertiannya yang modern harus
melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: Pertama, mempertegas komitmen untuk
menyerap, memadukan, mengartikulasikan, dan memperjuangkan
aspirasi serta kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang
bersifat publik. Kedua, untuk dapat melakukan fungsi yang pertama tersebut maka
sebuah partai politik harus melakukan rekruitmen kader- kader yang berkualitas
melalui sistem prestasi (merit system). Kader-kader inilah yang
ditawarkan untuk dapat dipilih oleh rakyat menduduki posisi-posisi politik atau
jabatan-jabatan politik yang bersifat publik. Dengan posisi atau jabatan
politik ini maka para kader dapat menjalankan atau mengontrol dan mempengaruhi
jalannya pemerintahan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kepentingan dan
kesejahteraan rakyat. Ketiga, dalam rangka fungsi yang pertama dan kedua
tersebut partai politik harus secara terus menerus melakukan dan meningkatkan
proses pendidikan serta komunikasi politik yang dialogis dan partisipatif.
Partai politik harus membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan
kritik dari manapun datangnya.
Dengan
mengaktualisasikan ketiga fungsi ini maka peranan partai politik dalam
membangun etika dan moralitas politik nasional adalah sangat besar. Jika ketiga
fungsi tersebut telah dapat berjalan dengan baik maka para kader partai politik
yang mengisi jabatan-jabatan politik yang bersifat publik itu tidak akan perlu
merasa menghadapi dilema dalam hal akuntabilitas politik
(political accountablity): apakah akuntabilitas itu kepada rakyat ataukah
kepada partai politik jika fungsi partai telah berjalan dilema semacam itu
tidak perlu ada karena memang tidak relevan. Sebab fungsi utama sebuah partai
politik itu sendiri tidak lain adalah menyerap, memadukan, dan memperjuangkan
aspirasi rakyat itu sendiri. Jadi kesetiaan kepada partai berarti kesetiaan
kepada aspirasi dan kepentingan rakyat juga. Bukankah fungsi partai adalah
menyerap dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat?
Problem
dilematis antara kesetiaan kepada partai ataukah kepada rakyat, hanya terjadi
karena partai politik-partai politik itu belum berfungsi sebagaimana mestinya
sebagai sebuah partai politik. Manakala telah berfungsi dengan baik maka
keduanya tidak perlu dipertentangkan. Apalagi, secara etika politik, kekuasaan
atau jabatan politik harus dipandang sebagai amanat yang harus
dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada rakyat sebagai sumber
legitimasi kekuasaan politik itu sendiri, melainkan juga kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa.
Membicarakan
partai politik, tentunya tak lepas dari istilah “koalisi partai politik”,
dimana dalam koalisi ini, beberapa partai politik sepakat untuk bergabung dalam
satu kerjasama saling menguntungkan guna mendukung tingginya perolehan suara
dalam pemilihan umum. Koalisi partai
politik biasanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana
partai-partai politik yang berkoalisi memiliki suatu kepentingan untuk meraup
suara terbanyak dalam menduduki parlemen. Indonesia dengan ciri masyarakatnya
yang majemuk (terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, adat-istiadat dan
sosial budaya yang berbeda-beda) menganut sistem pemerintahan presidensiil,
dimana menganut paham demokrasi terpimpin, namun koalisi partai politik selalu
mewarnai perkembangan politik di Indonedia. Dalam pemilihan umum 2014 lalu
terbentuk dua kubu koalisi yang saling berkompetisi untuk merebut tampuk
pemerintahan, yakni koalisi Merah Putih dan koalisi Indonesia hebat. Persaingan
dan perebutan kekuatan politik terjadi diantara kedua koalisi partai politik
tersebut. Pada akhirnya Koalisi Merah Putih berhasil menguasai kekuatan politik
legislatif, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat berhasil menguasi kekuatan
politik eksekutif sebagai koalisi partai yang menang dalam pemilihan presiden
dan wakil presiden. Ada hubungan yang kurang harmonis diantara kedua kubu
koalisi tersebut termasuk dalam penentuan kebijakan pemerintah, contohnya
kebijakan pemerintah dalam menentukan naikknya harga bahan bakar minyak (BBM)
dan sebagainya.
Terlepas
dari berbagai regulasi mengenai koalisi politik, point penting terhadap
permasalahan ini adalah sejauh mana penerapan
etika para pemimpin berupaya sungguh-sungguh bertanggungjawab dan berpihak
kepada aspirasi dan kepentingan rakyat dan hal tersebut barangkali masih merupakan
pertanyaan besar, begitu pula kualitas demokrasi dan tata pemerintahan masih
memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.
I.2. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah memaparkan perlunya membangun etika koalisi politik nasional menuju
demokrasi yang ideal di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, sebagai ciri
khas bangsa Indonesia dengan latar belakang suku, ras, agama, adat- istiadat
dan kondisi sosial budaya yang
berbeda-beda dan beraneka ragam.
I.3. RUMUSAN MASALAH
Berkaitan
dengan masalah etika koalisi politik dan demokrasi ideal, ada beberapa hal
penting yang perlu dikaji lebih dalam lagi, seperti bagaimana menciptakan
sebuah iklim demokrasi yang ideal dengan kondisi nasyarakat Indonesia yang
majemuk ? Demokrasi apakah yang dapat diterapkan ? Sejauh mana penerapan
demokrasi tersebut dan korelasinya dalam membangun etika koalisi politik
nasional menuju sebuah demokrasi yang ideal ? Idealnya sebuah demokrasi akan
menghasilkan pemimpin bangsa yang sungguh-sungguh beretanggungjawab dan
berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat.
BAB
II
PEMBAHASAN
II. 1. PENGERTIAN
II.1.1 Pengertian Etika
Ada banyak pengertian tentang etika, Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), mendefinisikan etika sebagai
(1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral: (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak: dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adisubrata (2002), mengartikan etika sebagai nilai-nilai moral, nilai-nilai baik yang
wajib dilakukan manusia. Bertens
(2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya
dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf
besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam
mnggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Kaitan antara etika dan politik diartikan oleh Frans magnis-Susenno
(2001) adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.
II.1.2. Pengertian
Koalisi
Koalisi
adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam
kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi
seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan
dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah
pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam
hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa
negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada
sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi
dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya
yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi diartikan kerja sama (politik)
antarpartai politik untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. BATAVIASE.CO.ID). Suara yang dimaksud
adalah jumlah person yang bersepakat untuk memutuskan suatu program dalam
kerangka kerja pemerintahan.
Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable)1.
Ensiklopedi populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50)2 menjabarkan bahwa, koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan “ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah”. Definisi tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya “Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen” (http://Wordpress.go.id 9 December 2006 : 8:11 am) yang mengatakan bahwa: ”Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat”. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi muthlak adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi tidak akan terbentuk begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A bisa mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain) dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat memenangkan pertarungan.
Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris (2004:43) yang menyatakan bahwa ”secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah”.
II.2. SEJARAH KOALISI DI INDONESIA
Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable)1.
Ensiklopedi populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50)2 menjabarkan bahwa, koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan “ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah”. Definisi tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya “Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen” (http://Wordpress.go.id 9 December 2006 : 8:11 am) yang mengatakan bahwa: ”Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat”. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi muthlak adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi tidak akan terbentuk begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A bisa mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain) dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat memenangkan pertarungan.
Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris (2004:43) yang menyatakan bahwa ”secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah”.
II.2. SEJARAH KOALISI DI INDONESIA
Koalisi yang berlangsung
pada masa Orde Lama (Orla) bersifat front, koalisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI),
Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama untuk
melawan musuh bersama, imperialisme. Di pihak lain ada juga patai politik
(parpol) dan organisasi massa (ormas) yang bekerja sama dengan militer yang
kontrarevolusi dan mendukung imperialisme. Hal terpenting yang menjadi ciri
koalisi pada masa Orde lama adalah kerja samanya sama sekali tidak terkait
dengan kepemimpinan seseorang, tetapi lebih pada tujuan.
Pada
masa Orde baru, koalisi terjadi di
bawah kepemimpinan negara. Walaupun pada saat itu yang terjadi sebenarnya bukan
koalisi melainkan peleburan partai politik (parpol) dan juga ormas yang
dipaksakan oleh pemerintah di bawah Presiden Soeharto. Peleburan ini efektif
dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 1971, dimana dari sembilan partai politik
yang ada, dikerdilkan menjadi tiga kekuatan politik saja. Yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari partai-partai Islam dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari partai-partai berhaluan nasionalis dan
agama non-Islam, serta Golong Karya (Golkar). Ini mengindikasikan bahwa PPP
mewakili konstituen Islam, PDI mewakili konstituen nasionalis, sedangkan Golkar
yang merupakan partai rezim Orba mewakili semua golongan dan juga militer.
Setelah
tumbangnya Orde baru membuat jumlah parpol
peserta pemilu 1999 tak hanya tiga parpol, ada 48 parpol yang terdaftar sebagai
peserta pemilu. Pada era ini, koalisi pragmatis terjadi di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden dan wakil presiden
(wapres). Untuk mengganjal Megawati dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai
presiden, sejumlah tokoh islam yang diprakarsai Amien Rais membentuk poros
tengah. Poros ini mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden
(capres) alternatif di luar Mega dan Habibie. Melalui pemilihan di MPR, upaya
poros tengah tersebut akhirnya berhasil. Gus Dur terpilih sebagai presiden,
sedangkan Megawati sebagai wapres. Namun usia kesolidan Poros Tengah tidak
berlangsung lama, penyebab utamanya tidak meratanya pembagian “kue” kekuasaan.
Kemudian
tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan
capres-cawapres Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan
untuk mendukung pasangan capres–cawapres Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla.
Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid bahkan cenderung
mencair.
Persaingan dua kubu koalisi yakni koalisi Merah Putih
dan koalisi Indonesia Hebat turut mewarnai dalam pemilihan umum tahun 2014. Dan
dalam perkembangannya pula seperti pada dua koalisi di tahun 2004, kedua
koalisi ini pun juga tidaklah solid. Koalisi Merah Putih berusaha menguasai kekuatan politik legislatif,
sementara kekuatan politik eksekutif telah dipegang oleh koalisi Indonesia
Hebat sebagai pemenang dalam pemilihan calon presiden dan
wakil presiden, dimana presiden terpilihlah yang akan memilih dan menentukan para calon menteri yang akan
mendukung pemerintahannya. Ada hubungan
yang tidak harmonis dari kedua kubu koalisi ini, termasuk dalam menentukan kebijakan
pemerintah seperti penentuan harga bahan bakar minyak dan lain sebagainya.
.
II.3. DEMOKRASI
KONSENSUS SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI IDEAL DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
Indonesia adalah negara yang terdiri
dari beberapa pulau, dimana masing-masing pulaunya terdapat bermacam suku, ras,
etnis, adat-istiadat, agama dan pandangan politik yang beragam dan berbeda-beda
dalam masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk. Sifat kemajemukan masyarakat ini turut mempengaruhi
perkembangan politik di Indonesia. Sehingga sistem demokrasi adalah sebuah
sistem politik yang tepat diterapkan di Indonesia. Lalu bagaimana konsep
membangun demokrasi ideal di tengah masyarakat majemuk seperti yang ada di
Indonesia? Demokrasi konsensus adalah suatu bentuk demokrasi ideal yang dapat
diterapkan di Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya. Lalu apakah demokrasi
konsensus itu ?
II.3.1. Dasar pemikiran Demokrasi Konsensus : Landasan Teori
Untuk memahami apa itu demokrasi konsensus, kita pahami dahulu dasar
pemikiran dari demokrasi konsensus yaitu:
a. Demokrasi berazaz partisipasi menyeluruh bagi komponen masyarakat,
langsung atau perwakilan
b. Demokrasi mayoritas bertentangan dengan azaz partisipasi dalam
demokrasi, karena mengabaikan minoritas (demokrasi konsensus tidak memakai
siapa yang dominan)
c. Pada masyarakat majemuk terdapat parameter permanen yang dapat
berpengaruh dalam politik sebagai hak asasi manusia (berkumpul dan menyerrtakan
pendapat)
d. Demokrasi mayoritas menegaskan pemilahan sosial yang tidak merajut.
II.3.2. Prinsip Demokrasi Konsensus: Landasan Teori
Dalam
demokrasi konsensus, prinsip-prinsip yang dianut adalah sebagai berikut:
a. Kekuasaan
negara terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, yang tidak dapat saling
menjatuhkan
b. Kekuasaan
eksekutif dijalankan oleh koalisi politik.
c. Lembaga
legislatif terdiri dari sistem dan kamar majelis rendah (DPR) dan majelis
tinggi (MPR dan DPD). Majelis rendah mencerminkan perwakilan partai politik.
Majelis tinggi mencerminkan perwakilan daerah.
d. Adanya
perwakilan kelompok minoritas dalam lembaga parlemen (yang non politik)
e.
Memberikan hak veto (hak menolak kebijakan) kepada perwakilan minoritas
f.
Menerapkan sistem multi partai
g.
Menerapkan multi membership partai untuk mencairkan perbedaan, tidak menegaskan
perbedaan.
h. Pembagian
wilayah dengan sistem otonom federal
II.4. PENERAPAN DEMOKRASI KONSENSUS DI INDONESIA
Demokrasi konsensus, untuk saat ini
adalah sebuah bentuk demokrasi yang ideal jika benar-benar dapat diterapkan di
Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk. Pada prinsip demokrasi konsensus
diuraikan sebuah pemikiran bahwa demokrasi berazaz partisipasi menyeluruh bagi
komponen masyarakat, dan dalam pemikiran demokrasi konsensus menentang bentuk
demokrasi mayoritas yang mengabaikan minoritas. Namun pada kenyataannya justru
demokrasi mayoritas lebih mendominasi di Indonesia, dan kepentingan minoritas
menjadi terabaikan. Sehingga banyak timbul protes atau demo di mana-mana
sebagai bentuk penolakan dari kepentingan minoritas yang tak tersampaikan,
bukankah ada partai politik yang seharusnya menampung dan mewakili aspirasi
masyarakat? Namun justru para elit politik dari masing-masing partai sibuk
dalam meraih kekuasaan.
Dalam prinsip demokrasi konsensus
disebutkan bahwa kekuasaan negara terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif,
yang tidak dapat saling menjatuhkan. Namun bagaimana pada kenyataannya ? Sebagai
contoh kasusu adalah dalam
pemerintahan saat ini terjadi perebutan kekuasaan antara dua kubu koalisi
partai politik. Sebagai gambaran, kedua kubu partai politik tersebut adalah:
a.
Koalisi Merah Putih
Koalisi
merah putih, menunjuk Prabowo Subianto dari Partai Gerindra sebagai Calon
Presiden dan Hatta Rajasa dari Partai Golongan karya sebagai calon wakil
presiden. Koalisi Merah Putih beranggotakan beberapa partai, dengan peroleh
suara dalam pemilu sebagai berikut :
- Partai Gerindra = 11,81 persen
- Partai Amanat Nasional (PAN) = 7,57 persen
- Partai Golongan Karya (Golkar) = 14,75 persen
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) = 6,53 persen
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) = 6,79 persen
- Partai Bulan Bintang (PBB) = 1,46 persen
- Partai Amanat Nasional (PAN) = 7,57 persen
- Partai Golongan Karya (Golkar) = 14,75 persen
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) = 6,53 persen
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) = 6,79 persen
- Partai Bulan Bintang (PBB) = 1,46 persen
- Partai
Demokrat (menyusul) = 10,19 %
Total perolehan suara menurut data KPU adalah 59,10 %
b. Koalisi
Indonesia Hebat
Koalisi
Indonesia hebat, menunjuk Jokowidodo dari Partai demokrasi Indonesia sebagai
calon presiden dan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden. Koalisi Indonesia
hebat beranggotakan hanya 4(empat) partai dengan perolehan suara dalam pemilu
sebagai berikut:
-
PDI Perjuangan =18,95 persen
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) = 9,04 persen
- Partai Nasional Demokrat (NasDem) = 6,72 persen
- Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) = 5,26 persen
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) = 9,04 persen
- Partai Nasional Demokrat (NasDem) = 6,72 persen
- Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) = 5,26 persen
Total perolehan suara menurut data KPU adalah : 39,97 %
Sisanya, 0,93 % adalah tidak diketahui
Selisih perolehan suara antara kedua
kubu koalisi diatas hanya sedikit sekali, dapat dikatakan seimbang untuk
bertarung dalam pemilihan presiden. Memang dalam kubu koalisi merah putih dalam
hal ini lebih unggul daripada kubu koalisi Indonesia Hebat, namun pada hasil
akhir pemilihan presiden, Jokowi memperoleh suara terbanyak mengungguli kubu
koalisi Merah Putih, walaupun selisih perolehan suaranya terhitung tipis. Pasca pemilu, kedua kubu masih
berkompetisi untuk menguasai kekuatan politik. Koalisi Merah
Putih berusaha menguasai kekuatan politik legislatif. Para
politisi dari partai-partai dalam Koalisi Merah Putih pun berkonsolidasi di
parlemen, masih pada periode DPR yang lalu, yang berusaha
menyelesaikan
pembahasan dan pengesahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sementara
kekuatan politik eksekutif dipegang oleh
koalisi Indonesia Hebat sebagai pemenang dalam pemilihan calon presiden dan
wakil presiden, dimana presiden terpilihlah yang akan memilih dan menentukan para calon menteri yang akan
mendukung pemerintahannya. Ada hubungan
yang tidak harmonis dari kedua kubu koalisi. Sehingga ada indikasi saling
menjatuhkan diantara kekuasaan legislatif dan eksekutif seperti contohnya dalam
menentukam kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini sangat bertentangan
dengan prinsip demokrasi konsensus yang pertama.
Kekuasaan eksekutif di Indonesia saat ini dijalankan oleh koalisi partai
politik. Jokowi sebagai presiden terpilih dari koalisi Indonesia Hebat
membangun sebuah koalisi ramping tanpa syarat. Dimana anggota koalisinya
terdiri dari empat partai yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Nasional
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat. Dapat
dikatakan bahwa prinsip demokrasi konsensus yang kedua sudah terpenuhi, hanya
saja masih diwarnai intrik-intrik politik di dalamnya.
Prinsip demokrasi konsensus yang
ketiga yang menyebutkan bahwa lembaga legislatif terdiri dari sistem dan kamar
majelis rendah (DPR) dan majelis tinggi (MPR dan DPD). Majelis rendah
mencerminkan perwakilan partai politik. Majelis tinggi mencerminkan perwakilan
daerah sudah terpenuhi. Memang majelis rendah mencerminkan partai politik dan
partai politik (seharusnya) mencerminkan aspirasi rakyat namun pada
kenyataannya, tidak semua partai politik mencerminkan aspirasi rakyat, namun
yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
yang menguntungkan bagi kepentingan partai maupun kepentingan pribadi.
Pada demokrasi yang ideal,
kepentingan kelompok minoritas tidak boleh terabaikan, namun pada
kenyataannya, kepentingan minoritas
sendiri belum banyak mendapat perhatian, hal ini bertentangan dengan prinsip
demokrasi konsensus. Berkaitan dengan prinsip demokrasi konsensus yang
menerapkan sistem multi partai, sudah dimulai sejak orde reformasi, dimana ada
banyak partai yang turut serta dalam memeriahkan pesta demokrasi (pemilu).
Walaupun sebenarnya pada orde baru tepatnya pada tahun 1998, telah menerapkan
multi partai, namun sistem ini masih berjalan setengah hati, ibaratnya sebuah
perusahaan, dimana pemegang saham banyak terdiri dari partai tertentu seperti
Golkar (Golongan Karya) dan ABRI. Di Indonesia, ada beberapa partai yang
menerapkan sistem multi membership dan ada yang tidak. Tujuan dari multi
membership adalah menyatukan perbedaan, tidak menegaskan perbedaan. Contoh
paratai yang tidak menerapkan multi membership adalah partai yang berbasis
agama. Partai yang multi membership akan
lebih banyak menjaring pengikut daripada
partai yang berbasis agama. Kepentingan minoritas pun dapat terwakili
melalui multi membership, sementara partai berbasis agama kurang dapat membawa
kepentingan minoritas.
Untuk prinsip demokrasi konsensus
yang terakhir yakni pembagian wilayah dengan sistem otonom federal , dimana
kekuasaan pusat ditentukan oleh kekuasaan-kekuasaan daerah otonom sebagai
bentuk dinamika otonomi daerah, sudah terlaksana. Sementara untuk kepemimpinan
masing-masing partai politik belum otonomi, masih terpusat, sehingga tak
mengherankan jika terkadang timbul konflik atau perpecahan dalam tubuh suatu
partai itu sendiri dan dapat terjadi dualisme kepemimpinan dalam sebuah partai,
contohnya pada hasil Munas Golkar yang diselenggarakan di Jakarta dan Denpasar Bali, tempo lalu.
Jika demokrasi di Indonesia sesuai
dengan demokrasi konsensus, dan demokrasi konsensus ini benar-benar diterapkan di
Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa bentuk demokrasi di Indonesia dapat
mendekati demokrasi yang ideal.
II.5.
GAMBARAN
ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL
Demokrasi ideal, ditandai dengan
telah berkembangnya sebuah etika dalam politik
nasional, termasuk juga etika dalam koalisi partai politik. Dalam rangka
meningkatkan perannya dalam membangun etika dan moralitas politik menuju
Indonesia Baru yang beradab maka partai politik harus secara sungguh-sungguh
melakukan rekruitmen kader yang berkualitas. Untuk itu maka penyempurnaan
sistem kaderisasi harus terus menerus dilakukan sehingga setiap partai politik
mampu menyeleksi dan menghasilkan kader-kader politisi yang tangguh, memiliki
integritas moral dan etika yang kuat, serta lebih daripada itu memiliki
tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan rakyat. Secara jujur harus
kita akui, secara kuantitatif dan kualitatif jumlah kader dengan kualifikasi
semacam ini masih belum memadai.
Dalam rangka
menuju ke sana maka pendidikan politik sebagai salah satu fungsi partai politik
harus benar-benar dijalankan. Pendidikan politik akan lebih tepat diarahkan
kepada dua sasaran sekaligus. Pertama, pendidikan politik kepada rakyat agar
mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara; dan
kedua, pendidikan politik untuk para kader- kader politisi itu sendiri. Apabila
partai-partai politik telah berfungsi dengan baik maka upaya untuk menciptakan
terwujudnya Indonesia baru yang beradab dan bermartabat akan lebih mudah
tercapai. Dan untuk menuju kesana jelas sekali diperlukan kesungguhan dari
semua pihak, termasuk dari kalangan perguruan tinggi dan cendekiawan. Satu di
antara komitmen yang mesti ditekankan dalam rangka pendidikan politik tersebut
di atas adalah berkenaan dengan fungsi partai politik untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Sebuah partai politik harus menjadikan
peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu platform perjuangan
utamanya. Perjuangan suatu partai politik di segala bidang bermuara pada upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Dalam kaitan ini kami
memandang politik sebagai instrumen dan managemen untuk mewujudkan masyarakat
madani yang sejahtera, adil dan makmur. Peningkatan kesejahteraan itu
diwujudkan dalam bentuk antara lain peningkatan taraf hidup dan kecerdasan
rakyat. Dengan sikap ini, maka sebuah partai politik mempertegas
keberpihakannya kepada rakyat.
Ada pemandangan yang kurang baik terpancar
dari sidang paripurna DPR dalam membahas kebijakan pemerintah untuk menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) di Gedung DPR, tanggal 30 Maret 2014 lalu.
Pemandangan yang kurang baik itu bukan terpancar dari perdebatan sengit antara
para anggota fraksi di DPR, yang diwarnai walkout fraksi PDIP dan
Hanura, melainkan dari akrobat politik yang diperagakan sejumlah fraksi dari
parpol yang tergabung dalam kapal koalisi pendukung pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kapal politik koalisi yang dibuat pada pemilu
2009 lalu tampaknya kembali oleng. Penumpang-penumpang koalisi berbobot besar
seperti Golkar, PAN, PPP, terutama PKS mulai tak karuan lantaran ingin mencari
aman sendiri. Politik pencitraan penuh pragmatisme pun dikemas parpol-parpol
itu demi mencari rasa aman politik menyongsong Pemilu 2014. Penorama politik
pencitraan seperti itu hampir serupa dengan yang terjadi pada sidang bailout
Bank Century tahun 2010. Kapal koalisi ketika itu hampir karam dan pecah. Hanya
saja dalam kasus BBM ini PKS sendiri yang secara tegas menyatakan menolak
kenaikan harga BBM, sedangkan Golkar, PAN, dan PPP terkesan bermain politik
abu-abu: di satu sisi tetap mendukung kebijakan pemerintah menaikan harga BBM
sesuai kesepakatan koalisi, namun di sisi lain ingin tetap mendapat simpati
rakyat dengan kalkulasi politiknya sendiri. Masing-masing yakin memiliki
kebenaran politik.
Setiap
fraksi di DPR yang bertikai dalam kaitan kebijakan pemerintah untuk menaikan
harga BBM itu masing-masing meyakini kebenaran politiknya. Hanya saja,
kebenaran dalam politik koalisi tersebut tidak lebih daripada kebenaran
transaksional sesuai kepentingan bersama yang saling menguntungkan, bukan
kebenaran obyektif. Selama kebenaran itu dirasa tidak menguntungkan partai,
kebenaran itu menjadi kebenaran sendiri-sendiri. Sebaliknya, selama traksaksi
itu menggiurkan kedua belah pihak, maka kebenaran bisa dikompromikan. Meski
akhirnya parpol-parpol itu dicap sebagai “pengkhianat koalisi‘. Yang penting keuntungan
politik bisa dipetik. Tampak jelas, kebenaran politik yang ditemukan dalam
sidang paripurna DPR tersebut sangat pragmatis alias sementara dan langsung
luntur oleh traksaksi politik yang terbangun kemudian. Apalagi dalam sejarah
pertarungan politik di negeri ini tercatat tidak ada keberanian cukup
tulus-murni dari para politisi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan
membela kepentingan bangsa dan negara secara penuh. Sehingga, begitu sulit
menemukan partai atau politisi yang tampil sebagai “pendekar‘ kebenaran sejati
di negeri ini. Padahal, kebenaran sejati sangat dibutuhkan saat ini di tengah
situasi karut marut dengan ragam kehancuran akhlak publik. Tidak aneh jika yang
terlihat adalah mengentalnya egoisme para anggota fraksi yang diperjuangkan
dalam sidang paripurna itu adalah untuk memenangkan kepentingan partai. Dengan
begitu, kontrak politik dan komitmen koalisi diangkat lagi. Sebagai partai yang
pernah berikrar dalam koalisi, apa pun alasannya, harus memenangkan pertarungan
di sidang paripurna, tidak peduli etis atau tidak.
Tatkala
janji koalisi ditagih dan transaksi politik baru dibangun, para politisi yang
tergabung dalam barisan koalisi tidak akan berdaya karena di antara mereka,
jatah kekuasaan sudah dibagikan. Sebab, koalisi adalah kesepakatan politik dari
sejumlah partai dengan kompensasi pembagian jatah kekuasaan demi bersama-sama
menopang kebijakan-kebijakan pemerintah. Kekuatan koalisi terletak pada
komitmen atas kesepakatan awal saat koalisi dibangun. Karena itu, tatkala dalam
sidang paripurna kenaikan harga BBM “dibangun‘ kembali koalisi, di mana janji
koalisi kembali ditagih, maka di sana mau tidak mau kesepakatan harus dibuat lagi
demi menciptakan kesejatian politik koalisi. Di sini, kesejatian koalisi atau
sisi etis koalisi adalah membangun politik yang jauh dari orientasi pragmatisme
politik masing-masing. Yang ada adalah kepentingan bersama peserta koalisi. Kadang
para politisi yang tergabung dalam koalisi kurang nyaman ketika mereka harus
menghadapi situasi politik atau kebijakan politik yang tidak menguntungkan
partai politiknya dan hanya lebih menguntungkan partai penguasa. Tetapi, di
situlah konsekuensi politik berkoalisi, bukan hanya bergabung dan menyatakan
kesetiaan politik dalam situasi politik yang menguntungkan partainya. Namun
jika dirasa kurang menguntungkan, serta merta meninggalkannya. Tetapi yang
benar adalah harus tetap mempertahankan kebersamaan politik, meski pahit.
Satu hal
yang tidak boleh diabaikan dalam politik adalah kepercayaan-kepercayaan politik
rakyat tetap melekat pada partai politik dus politisi di dalamnya adalah
konsistensi dalam politik. Dalam hal ini, inkonsistensi PKS dalam berkoalisi,
meski di satu sisi menginginkan agar citra dan popularitasnya di depan rakyat
terjaga dengan menunjukkan diri sebagai partai pahlawan rakyat dengan cara
bersama rakyat menolak kenaikan harga BBM, tetapi di sisi lain dapat menjadi
bumerang hilangnya kepercayaan rakyat.
Konsistensi
politik merupakan perekat tetap terbangunnya kepercayaan rakyat terhadap para
politisi. Sebab, di situ pula letak kematangan dan kedewasaan dalam berpolitik.
Rakyat tidak suka dengan sikap kekanak-kanakan dalam politik alias infantilisme politik. Bagaimana mungkin
rakyat mempertaruhkan kepercayaan politiknya kepada politisi-politisi yang
dilekati perilaku kekanak-kanakan alias infantil?
Inilah persoalan penting yang mesti direfleksikan secara terus-menerus dalam
berpolitik. Dan
itulah sebagai salah satu gambaran etika koalisi politik nasional yang terjadi
di Indonesia saat ini.
II.6.
MEMBANGUN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL MENUJU DEMOKRASI
YANG IDEAL
Apabila
Demokrasi Konsensus diterapkan secara benar, adalah hal mudah dalam membangun sebuah
etika koalisi politik nasional. Dimana adanya koalisi politik nasional akan
memberikan manfaat yang baik dalam penetapan deregulasi/aturan dan arah
kebijakan pemerintahan yang baik. Koalisi partai politik justru akan memberikan
dan menjadi kekuatan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang
harmonis dimana ketiga lembaga tinggi
negara, baik eksekutif, legislative dan yudikatif saling bekerjasama bersinergi
dalam menentukan arah kebijakan bersama-sama membangun Indonesia dengan
pemerintahan yang lebih baik, dengan lebih mengutamakan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat daripada kepentingan pribadi ataupun kepentingan partai.
Koalisi Politik nasional yang
beretika menjadi salah satu indikasi
keberhasilan suatu demokrasi yang ideal. Demokrasi yang ideal menghasilkan
suatu bentuk pemerintahan yang baik, atau dalam literature pemerintahan sering
disebut “Good
Governance”. Menurut lembaga tertinggi
negara Indonesia, yang dimaksud dengan pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hal ini tertuang
dalam TAP MPR No. XI/MPR/1999. Yang mengatur tentang penyelenggaraan negara
yang bersih dan berwibawa serta dalam penyelenggaraan negara harus sesuai
dengan Pancasila
dan UUD 1945 (Adisubrata,
2002).
BAB
III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap segala sesuatu yang ada.
Politik memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut
proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Dalam hubungan dengan etika politik pengertian
politik harus dipahami dalam pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh
unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
Etika politik merupakan sebuah
cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia sebagai makhluk yang
berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik. Hukum dan
kekuasaan negara merupakan pembahasan utama etika politik dengan pokok
permasalahan utama adalah legitimasi etis kekuasaan. Dimana legitimasi etis
mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Nilai pada hakikatnya adalah sifat
atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan
bernilai apabila sesuatu itu berharga,
berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya. Berdasarkan penjabarannya
nilai dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental
dan nilai praksis. Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman penilaian
tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang
didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Sedangkan moral merupakan suatu ajaran
ataupun wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang
baik.
III.2. SARAN
Pola pikir untuk membangun kehidupan
berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila
Pancasila. Etika politik Pancasila harus direalisasikan oleh setiap individu
yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Peran
Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia harus benar-benar dipahami
oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang terjadi dewasa ini.
Alangkah
baiknya bahwa setiap partai politik di Indonesia menyadari bahwa ini bukanlah
semata-mata masalah kekuasaan, tapi bagaimana bangunan koalisi yang dibentuk
mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Partai politik tidak hanya bisa melesat dengan mencapai suara dominan, namun juga harus mampu
menjawab harapan publik. Sehingga partai politik mampu melakukan fungsinya, yaitu
mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan publik. Karena partai politik merupakan saluran yang tepat menyampaikan
berbagai persoalan yang berkembang. Sehingga, partai politik tidak lagi dinilai
semata-mata alat manipulasi publik pada saat Pemilu lima tahun sekali. Karakter partai politik
sudah seharusnya santun dan representatif. Sebagai wakil rakyat, sebuah partai
politik atau institusi negara wajib mengemban amanah dan kehendak rakyat.
Demokrasi perlu dijalankan dengan sepenuh hati sesuai moral power dan etika
politik sebab janji partai saat masa kampanye pada waktunya akan ditagih rakyat.
Para
elite politik mulai tahun 2015 ini
diharapkan bisa menampilkan wajah politik
Indonesia yang bermartabat, berkebudayaan
dan memiliki kesantunan. Perseturuan yang tidak usai antara dua kubu di DPR pun
diharapkan bisa terselesaikan dengan sempurna. Sehingga keduanya bisa
menyiapkan pembangunan Indonesia yang lebih baik ke depan bersama-sama demi
kesejahteraan masyarakat Indonesia secara
menyeluruh.
DAFTAR
PUSTAKA
Franz Magnis-Suseno, 2001. Etika
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum
Imam Hidayat, 2009. Teori-Teori
Politik. Malang: Setara Press
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1998. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan
K. Bertens, 2000. Judule opo. Kota terbit: Penerbit
Rusadi Kantaprawira, 2006. Sistem
Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algendindo.
Winanrna
Surya Adisburata, 2002. Etika Pemerintahan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
https://ajichrw.wordpress.com/2009/07/21/membangun-etika-dan-moralitas
politik-nasional-menuju-indonesia-baru-yang-beradab
No comments:
Post a Comment