Tuesday, 23 June 2015

MEMBANGUN KOALISI POLITIK NASIONAL MENUJU DEMOKRASI IDEAL

MEMBANGUN  ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL
MENUJU DEMOKRASI  IDEAL
DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
DOSEN PENGAMPU
Drs. AS. MARTADANI NOOR, MA

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZJ56aFmT5t8mDc8YSkGpEF_DrsA8cz9iX0z4xMH_h273bw1Esy5h2vavoi85SHFpIKACWDyGaG4iP7gMVDh8DVLDsWid5k4mTyTrImj-854-oAZC2c43R4Qmx3yyoX6n0d1yPd6L9cIk/s1600/New+Picture.png

DISUSUN OLEH KELOMPOK II
1.      ANIS PURWANINGSIH                               NIM. 131312176
2.      SATRIO MUSTIKANING PRAJURIT         NIM. 131312141
3.      BAMBANG IDAYAT                                    NIM. 131312174
4.      INDRI MARWATI                                         NIM. 131312175
5.      RATRI SUCI NAZARANI                            NIM. 142312270
6.      FIRMAN PRIBADI                                        NIM. 131312178
7.      SUMANTRI                                                    NIM. 131312165
8.      SUMARTININGSIH                                      NIM. 131312179
9.      SUNARDI                                                       NIM. 131312152
10.  BUDI ISTI WIJAYANTI                               NIM. 142312272

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR


Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Subhanahuwataala. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam, karena atas hidayah-Nyalah tugas ini dapat diselesaikan. Tugas ini penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah Sistem Sosial dan Budaya Indonesia, Bapak Drs. AS. Martadani Noor, MA sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah tersebut. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. AS. Martadani Noor, MA yang telah berjasa mencurahkan ilmunya kepada penulis.

Penulis memohon kepada Bapak dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mambangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya tugas-tugas yang akan datang.



Yogyakarta, 14 januari 2015

Penulis






i
DAFTAR ISI


BAB I  PENDAHULUAN.................................................................................... 1
I.1. LATAR BELAKANG .................................................................................... 1
I.2. TUJUAN .......................................................................................................... 5
I.3. RUMUSAN MASALAH ................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
II.1. PENGERTIAN .............................................................................................. 6
II.1.1. Pengertian Etika ........................................................................................... 6
II.1.2. Pengertian Koalisi ........................................................................................ 6
II.2. SEJARAH KOALISI INDONESIA ............................................................. 8
II.3. DEMOKRASI KONSENSUS SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI IDEAL DI TENGAH MASYARAKAT  MAJEMUK............................................................................................................. 9
II.3.1. Dasar Pemikiran Demokrasi Konsesus: Landasan Teori ........................... 10
II.3.2. Prinsip Demokrasi Konsensus: Landasan Teori ........................................ 10
II.4. PENERAPAN DEMOKRASI KONSENSUS DI INDONESIA ............. 11
II.5. GAMBARAN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL ....................... 15
II.6. MEMBANGUN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL MENUJU
DEMOKRASI YANG IDEAL ........................................................................... 18
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 20
III.1. KESIMPULAN .......................................................................................... 20
III.2. SARAN ...................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

ii




BAB I
PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG
Dalam literatur administrasi publik dan ilmu politik, selalu diingatkan sisi etika dari administrasi publik. Memang dari hari ke hari selalu muncul pelanggaran etika atau misconduct di dalam instansi pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia. Yang dimaksud etika di sini adalah nilai-nilai moral, nilai-nilai baik yang wajib dilakukan manusia, bila ingin dihargai dalam pergaulan masyarakat yang beradab. Etika dapat diartikan sebagai tata susila dan nilai-nilai sopan santun dalam pergaulan hidup manusia baik dalam hubungan keluarga bertetangga maupun dalam pergaulan masyarakat luas.
Bilamana kita tidak melaksanakan nilai-nilai moral dengan baik, maka kita tidak akan mendapatkan sanksi langsung baik oleh orang lain, masyarakat atau negara melainkan akan mendapatkan penilaian orang lain yang tidak baik. Berbeda dengan norma hukum yang apabila seseorang melanggarnya akan langsung ditindak oleh aparat hukum dan diproses sesuai hukum positif yang ada dan mendapatkan sanksi yang akan menimpa pelanggar tersebut, baik berupa sanksi badan (penjara) ataupun denda yang akan langsung dirasakan bagi mereka.
Dalam kenyataan di lapangan masih banyak ditemui para administrator dalam membuat kebijakan cenderung didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di luar rasionalitas atau di luar pertimbangan ekonomi dan efisiensi. Para administrator ternyata dalam membuat keputusan atau kebijakan masih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis, hal tersebut sangat menentukan dampak pada keputusan yang mereka buat.
Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar semacam keluhan atau ungkapan keprihatinan dari beberapa pihak bahwa partai-partai politik cenderung mengutamakan kepentingannya sendiri. Partai-partai politik kita, pada kenyataannya, tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Sejumlah penilaian juga banyak diajukan, antara lain, bahwa partai-partai politik tidak memiliki visi dan misi yang jelas, atau malah belum berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sebuah partai politik modern. Diajukan pula oleh berbagai pihak sejumlah “bukti” dimana para politisi sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri, bahkan  ada pula yang benar atau salah mulai terlihat melakukan tindak penyelewengan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan partai politik itu sendiri. Partai politik telah dikatakan telah tereduksi menjadi semata-mata kendaraan untuk berburu kekuasaan, dengan mengorbankan nasib rakyat. Bidang politik belum dipandang sebagai lapangan perjuangan dan pengabdian untuk rakyat, bangsa dan negara, serta menegakkan yang benar dan mencegah yang munkar. Politik semata-mata dipahami sebagai politik rendah (low politics), yakni politik yang cenderung hanya untuk meraih kekuasaan.
Kebenaran dari semua penilaian, kritik, keluhan, atau keprihatinan semacam itu tentunya masih memerlukan pengkajian yang lebih adil dan serius. Tetapi jika apa yang disinyalir oleh banyak kalangan ini benar-benar terjadi maka tentu ini sebuah ironi yang luar biasa. Sebab sebuah partai politik itu didirikan  adalah  sebagai  wahana  (vehicle)  untuk menuangkan kepentingan rakyat. Sebuah partai politik didirikan oleh kekuatan-kekuatan masyarakat yang riil, dan hanya bisa bertahan jika masih mendapatkan dukungan rakyat. Hanya oleh karena masih dipercaya rakyat sebuah partai politik mendapatkan dukungan rakyat. Jika sebuah partai tidak lagi mendapatkan dukungan    rakyat, dimana bentuk dukungan ini ditunjukkan dalam pemilu, maka partai itu tidak akan survive atau bertahan hidup dan itu berarti berakhir eksistensinya.  Dalam konteks, ini maka ironis jika partai yang didirikan dengan semangat untuk rakyat itu disinyalir sebagai tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat. Disini ada semacam contradictio in ternimis, atau pertentangan dalam dirinya sendiri. Sebab, sekali sebuah partai politik tidak lagi memperjuangkan kepentingan rakyat maka berarti bukan lagi sebuah partai politik. Partai politik pada hakekatnya adalah kekuatan rakyat yang terorganisir secara rapi dan sistematis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh kekuatan-kekuatan riil dalam masyarakat, maka sebuah partai tentu memiliki visi, misi, dan platform politiknya sendiri sebagaimana mestinya sebuah partai politik yang moderen.
Sebagaimana kita ketahui sebuah partai politik dalam pengertiannya yang modern harus melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: Pertama, mempertegas komitmen untuk menyerap, memadukan, mengartikulasikan,    dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat sehingga menjadi kebijakan politik yang bersifat publik. Kedua, untuk dapat melakukan fungsi yang pertama tersebut maka sebuah partai politik harus melakukan rekruitmen kader- kader yang berkualitas melalui sistem prestasi (merit system). Kader-kader inilah yang ditawarkan untuk dapat dipilih oleh rakyat menduduki posisi-posisi politik atau jabatan-jabatan politik  yang bersifat publik. Dengan posisi atau jabatan politik ini maka para kader dapat menjalankan atau mengontrol dan mempengaruhi jalannya pemerintahan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Ketiga, dalam rangka fungsi yang pertama dan kedua tersebut partai politik harus secara terus menerus melakukan dan meningkatkan proses pendidikan serta komunikasi politik yang dialogis dan partisipatif. Partai politik harus membuka diri terhadap berbagai pikiran, aspirasi dan kritik dari manapun datangnya.
Dengan mengaktualisasikan ketiga fungsi ini maka peranan partai politik dalam membangun etika dan moralitas politik nasional adalah sangat besar. Jika ketiga fungsi tersebut telah dapat berjalan dengan baik maka para kader partai politik yang mengisi jabatan-jabatan politik yang bersifat publik itu tidak akan perlu merasa menghadapi dilema   dalam hal akuntabilitas politik  (political accountablity): apakah akuntabilitas itu kepada rakyat  ataukah kepada partai politik jika fungsi partai telah berjalan dilema semacam itu tidak perlu ada karena memang tidak relevan. Sebab fungsi utama sebuah partai politik itu sendiri tidak lain adalah menyerap, memadukan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat itu sendiri. Jadi kesetiaan kepada partai berarti kesetiaan kepada aspirasi dan kepentingan rakyat juga. Bukankah fungsi partai adalah menyerap dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat?
Problem dilematis antara kesetiaan kepada partai ataukah kepada rakyat, hanya terjadi karena partai politik-partai politik itu belum berfungsi sebagaimana mestinya sebagai sebuah partai politik. Manakala telah berfungsi dengan baik maka keduanya tidak perlu dipertentangkan. Apalagi, secara etika politik, kekuasaan atau jabatan politik harus dipandang  sebagai amanat  yang harus dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada   rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan politik itu sendiri,  melainkan juga kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Membicarakan partai politik, tentunya tak lepas dari istilah “koalisi partai politik”, dimana dalam koalisi ini, beberapa partai politik sepakat untuk bergabung dalam satu kerjasama saling menguntungkan guna mendukung tingginya perolehan suara dalam pemilihan umum.  Koalisi partai politik biasanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana partai-partai politik yang berkoalisi memiliki suatu kepentingan untuk meraup suara terbanyak dalam menduduki parlemen. Indonesia dengan ciri masyarakatnya yang majemuk (terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, adat-istiadat dan sosial budaya yang berbeda-beda) menganut sistem pemerintahan presidensiil, dimana menganut paham demokrasi terpimpin, namun koalisi partai politik selalu mewarnai perkembangan politik di Indonedia. Dalam pemilihan umum 2014 lalu terbentuk dua kubu koalisi yang saling berkompetisi untuk merebut tampuk pemerintahan, yakni koalisi Merah Putih dan koalisi Indonesia hebat. Persaingan dan perebutan kekuatan politik terjadi diantara kedua koalisi partai politik tersebut. Pada akhirnya Koalisi Merah Putih berhasil menguasai kekuatan politik legislatif, sedangkan Koalisi Indonesia Hebat berhasil menguasi kekuatan politik eksekutif sebagai koalisi partai yang menang dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Ada hubungan yang kurang harmonis diantara kedua kubu koalisi tersebut termasuk dalam penentuan kebijakan pemerintah, contohnya kebijakan pemerintah dalam menentukan naikknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan sebagainya.
Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi politik, point penting terhadap permasalahan ini adalah sejauh mana  penerapan etika para pemimpin berupaya sungguh-sungguh bertanggungjawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar, begitu pula kualitas demokrasi dan tata pemerintahan masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya.

I.2. TUJUAN
            Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah memaparkan perlunya membangun etika koalisi politik nasional menuju demokrasi yang ideal di tengah-tengah masyarakat yang majemuk, sebagai ciri khas bangsa Indonesia dengan latar belakang suku, ras, agama, adat- istiadat dan  kondisi sosial budaya yang berbeda-beda dan beraneka ragam.

I.3. RUMUSAN MASALAH
            Berkaitan dengan masalah etika koalisi politik dan demokrasi ideal, ada beberapa hal penting yang perlu dikaji lebih dalam lagi, seperti bagaimana menciptakan sebuah iklim demokrasi yang ideal dengan kondisi nasyarakat Indonesia yang majemuk ? Demokrasi apakah yang dapat diterapkan ? Sejauh mana penerapan demokrasi tersebut dan korelasinya dalam membangun etika koalisi politik nasional menuju sebuah demokrasi yang ideal ? Idealnya sebuah demokrasi akan menghasilkan pemimpin bangsa yang sungguh-sungguh beretanggungjawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat.












BAB II
PEMBAHASAN

II. 1. PENGERTIAN
II.1.1 Pengertian Etika
Ada banyak pengertian tentang etika, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), mendefinisikan etika sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral: (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak: dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Adisubrata (2002), mengartikan etika sebagai  nilai-nilai moral, nilai-nilai baik yang wajib dilakukan manusia.  Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam mnggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Kaitan antara etika dan politik diartikan oleh Frans magnis-Susenno (2001) adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.

II.1.2. Pengertian Koalisi
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai.  Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, koalisi diartikan kerja sama (politik) antarpartai politik untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen. BATAVIASE.CO.ID). Suara yang dimaksud adalah jumlah person yang bersepakat untuk memutuskan suatu program dalam kerangka kerja pemerintahan.
Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable)1.
Ensiklopedi populer politik pembangunan pancasila edisi ke IV (1988:50)2 menjabarkan bahwa, koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan “ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah”. Definisi tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya “Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen”  (http://Wordpress.go.id 9 December 2006 : 8:11 am) yang mengatakan bahwa: ”Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat”. Hal ini menunjukan  bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi muthlak adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi  tidak akan terbentuk begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A bisa mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain) dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat memenangkan pertarungan.
Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris (2004:43) yang menyatakan bahwa ”secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah”. 

II.2. SEJARAH KOALISI DI INDONESIA
Koalisi yang berlangsung pada masa Orde Lama (Orla) bersifat front,  koalisi Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU) bekerja sama untuk melawan musuh bersama, imperialisme. Di pihak lain ada juga patai politik (parpol) dan organisasi massa (ormas) yang bekerja sama dengan militer yang kontrarevolusi dan mendukung imperialisme. Hal terpenting yang menjadi ciri koalisi pada masa Orde lama adalah kerja samanya sama sekali tidak terkait dengan kepemimpinan seseorang, tetapi lebih pada tujuan.
Pada masa Orde baru, koalisi terjadi di bawah kepemimpinan negara. Walaupun pada saat itu yang terjadi sebenarnya bukan koalisi melainkan peleburan partai politik (parpol) dan juga ormas yang dipaksakan oleh pemerintah di bawah Presiden Soeharto. Peleburan ini efektif dilakukan setelah pelaksanaan Pemilu 1971, dimana dari sembilan partai politik yang ada, dikerdilkan menjadi tiga kekuatan politik saja. Yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan dari partai-partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), gabungan dari partai-partai berhaluan nasionalis dan agama non-Islam, serta Golong Karya (Golkar). Ini mengindikasikan bahwa PPP mewakili konstituen Islam, PDI mewakili konstituen nasionalis, sedangkan Golkar yang merupakan partai rezim Orba mewakili semua golongan dan juga militer.
Setelah tumbangnya Orde baru membuat jumlah parpol peserta pemilu 1999 tak hanya tiga parpol, ada 48 parpol yang terdaftar sebagai peserta pemilu. Pada era ini, koalisi pragmatis terjadi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memilih presiden dan wakil presiden (wapres). Untuk mengganjal Megawati dan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden, sejumlah tokoh islam yang diprakarsai Amien Rais membentuk poros tengah. Poros ini mengajukan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden (capres) alternatif di luar Mega dan Habibie. Melalui pemilihan di MPR, upaya poros tengah tersebut akhirnya berhasil. Gus Dur terpilih sebagai presiden, sedangkan Megawati sebagai wapres. Namun usia kesolidan Poros Tengah tidak berlangsung lama, penyebab utamanya tidak meratanya pembagian “kue” kekuasaan.
Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres–cawapres Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid bahkan cenderung mencair.
Persaingan dua kubu koalisi yakni koalisi Merah Putih dan koalisi Indonesia Hebat turut mewarnai dalam pemilihan umum tahun 2014. Dan dalam perkembangannya pula seperti pada dua koalisi di tahun 2004, kedua koalisi ini pun juga tidaklah solid. Koalisi Merah Putih berusaha menguasai kekuatan politik legislatif, sementara kekuatan politik eksekutif telah dipegang oleh koalisi Indonesia Hebat sebagai pemenang dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden, dimana presiden terpilihlah yang akan memilih dan  menentukan para calon menteri yang akan mendukung pemerintahannya.  Ada hubungan yang tidak harmonis dari kedua kubu koalisi ini, termasuk dalam menentukan kebijakan pemerintah seperti penentuan harga bahan bakar minyak dan lain sebagainya.
.
II.3. DEMOKRASI KONSENSUS SEBAGAI BENTUK DEMOKRASI                    IDEAL DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beberapa pulau, dimana masing-masing pulaunya terdapat bermacam suku, ras, etnis, adat-istiadat, agama dan pandangan politik yang beragam dan berbeda-beda dalam masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Sifat kemajemukan masyarakat ini turut mempengaruhi perkembangan politik di Indonesia. Sehingga sistem demokrasi adalah sebuah sistem politik yang tepat diterapkan di Indonesia. Lalu bagaimana konsep membangun demokrasi ideal di tengah masyarakat majemuk seperti yang ada di Indonesia? Demokrasi konsensus adalah suatu bentuk demokrasi ideal yang dapat diterapkan di Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya. Lalu apakah demokrasi konsensus itu ?
II.3.1. Dasar pemikiran Demokrasi Konsensus : Landasan Teori
Untuk memahami apa itu demokrasi konsensus, kita pahami dahulu dasar pemikiran dari demokrasi konsensus yaitu:
a. Demokrasi berazaz partisipasi menyeluruh bagi komponen masyarakat, langsung atau perwakilan
b. Demokrasi mayoritas bertentangan dengan azaz partisipasi dalam demokrasi, karena mengabaikan minoritas (demokrasi konsensus tidak memakai siapa yang dominan)
c. Pada masyarakat majemuk terdapat parameter permanen yang dapat berpengaruh dalam politik sebagai hak asasi manusia (berkumpul dan menyerrtakan pendapat)
d. Demokrasi mayoritas menegaskan pemilahan sosial yang tidak merajut.

II.3.2. Prinsip Demokrasi Konsensus: Landasan Teori
Dalam demokrasi konsensus, prinsip-prinsip yang dianut adalah sebagai berikut:
a. Kekuasaan negara terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, yang tidak dapat saling menjatuhkan
b. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh koalisi politik.
c. Lembaga legislatif terdiri dari sistem dan kamar majelis rendah (DPR) dan majelis tinggi (MPR dan DPD). Majelis rendah mencerminkan perwakilan partai politik. Majelis tinggi mencerminkan perwakilan daerah.
d. Adanya perwakilan kelompok minoritas dalam lembaga parlemen (yang non politik)
e. Memberikan hak veto (hak menolak kebijakan) kepada perwakilan minoritas
f. Menerapkan sistem multi partai
g. Menerapkan multi membership partai untuk mencairkan perbedaan, tidak menegaskan perbedaan.
h. Pembagian wilayah dengan sistem otonom federal

II.4. PENERAPAN DEMOKRASI KONSENSUS DI  INDONESIA
Demokrasi konsensus, untuk saat ini adalah sebuah bentuk demokrasi yang ideal jika benar-benar dapat diterapkan di Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk. Pada prinsip demokrasi konsensus diuraikan sebuah pemikiran bahwa demokrasi berazaz partisipasi menyeluruh bagi komponen masyarakat, dan dalam pemikiran demokrasi konsensus menentang bentuk demokrasi mayoritas yang mengabaikan minoritas. Namun pada kenyataannya justru demokrasi mayoritas lebih mendominasi di Indonesia, dan kepentingan minoritas menjadi terabaikan. Sehingga banyak timbul protes atau demo di mana-mana sebagai bentuk penolakan dari kepentingan minoritas yang tak tersampaikan, bukankah ada partai politik yang seharusnya menampung dan mewakili aspirasi masyarakat? Namun justru para elit politik dari masing-masing partai sibuk dalam meraih kekuasaan.
Dalam prinsip demokrasi konsensus disebutkan bahwa kekuasaan negara terdiri dari eksekutif, legislatif, yudikatif, yang tidak dapat saling menjatuhkan. Namun bagaimana pada kenyataannya ? Sebagai contoh kasusu adalah dalam pemerintahan saat ini terjadi perebutan kekuasaan antara dua kubu koalisi partai politik. Sebagai gambaran, kedua kubu partai politik tersebut adalah:
 a. Koalisi Merah Putih
            Koalisi merah putih, menunjuk Prabowo Subianto dari Partai Gerindra sebagai Calon Presiden dan Hatta Rajasa dari Partai Golongan karya sebagai calon wakil presiden. Koalisi Merah Putih beranggotakan beberapa partai, dengan peroleh suara dalam pemilu sebagai berikut :
- Partai Gerindra = 11,81 persen
- Partai Amanat Nasional (PAN) = 7,57 persen
- Partai Golongan Karya (Golkar) = 14,75 persen
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) = 6,53 persen
- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) = 6,79 persen
- Partai Bulan Bintang (PBB) = 1,46 persen
- Partai Demokrat (menyusul) = 10,19 %
Total perolehan suara menurut data KPU adalah 59,10 %

b. Koalisi Indonesia Hebat
            Koalisi Indonesia hebat, menunjuk Jokowidodo dari Partai demokrasi Indonesia sebagai calon presiden dan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden. Koalisi Indonesia hebat beranggotakan hanya 4(empat) partai dengan perolehan suara dalam pemilu sebagai berikut:
- PDI Perjuangan =18,95 persen
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) = 9,04 persen
- Partai Nasional Demokrat (NasDem) = 6,72 persen
- Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) = 5,26 persen
Total perolehan suara menurut data KPU adalah : 39,97 %
Sisanya, 0,93 % adalah tidak diketahui
Selisih perolehan suara antara kedua kubu koalisi diatas hanya sedikit sekali, dapat dikatakan seimbang untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Memang dalam kubu koalisi merah putih dalam hal ini lebih unggul daripada kubu koalisi Indonesia Hebat, namun pada hasil akhir pemilihan presiden, Jokowi memperoleh suara terbanyak mengungguli kubu koalisi Merah Putih, walaupun selisih perolehan suaranya terhitung  tipis. Pasca pemilu, kedua kubu masih berkompetisi untuk menguasai kekuatan politik. Koalisi Merah Putih berusaha menguasai kekuatan politik legislatif. Para politisi dari partai-partai dalam Koalisi Merah Putih pun berkonsolidasi di parlemen, masih pada periode DPR yang lalu, yang berusaha menyelesaikan pembahasan dan pengesahan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sementara kekuatan politik eksekutif  dipegang oleh koalisi Indonesia Hebat sebagai pemenang dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden, dimana presiden terpilihlah yang akan memilih dan  menentukan para calon menteri yang akan mendukung pemerintahannya.  Ada hubungan yang tidak harmonis dari kedua kubu koalisi. Sehingga ada indikasi saling menjatuhkan diantara kekuasaan legislatif dan eksekutif seperti contohnya dalam menentukam kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi konsensus yang pertama.
Kekuasaan eksekutif di Indonesia saat ini dijalankan oleh koalisi partai politik. Jokowi sebagai presiden terpilih dari koalisi Indonesia Hebat membangun sebuah koalisi ramping tanpa syarat. Dimana anggota koalisinya terdiri dari empat partai yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hati Nurani Rakyat. Dapat dikatakan bahwa prinsip demokrasi konsensus yang kedua sudah terpenuhi, hanya saja masih diwarnai intrik-intrik politik di dalamnya.
Prinsip demokrasi konsensus yang ketiga yang menyebutkan bahwa lembaga legislatif terdiri dari sistem dan kamar majelis rendah (DPR) dan majelis tinggi (MPR dan DPD). Majelis rendah mencerminkan perwakilan partai politik. Majelis tinggi mencerminkan perwakilan daerah sudah terpenuhi. Memang majelis rendah mencerminkan partai politik dan partai politik (seharusnya) mencerminkan aspirasi rakyat namun pada kenyataannya, tidak semua partai politik mencerminkan aspirasi rakyat, namun yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, untuk memperoleh keuntungan-keuntungan yang menguntungkan bagi kepentingan partai maupun kepentingan pribadi.
Pada demokrasi yang ideal, kepentingan kelompok minoritas tidak boleh terabaikan, namun pada kenyataannya,  kepentingan minoritas sendiri belum banyak mendapat perhatian, hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi konsensus. Berkaitan dengan prinsip demokrasi konsensus yang menerapkan sistem multi partai, sudah dimulai sejak orde reformasi, dimana ada banyak partai yang turut serta dalam memeriahkan pesta demokrasi (pemilu). Walaupun sebenarnya pada orde baru tepatnya pada tahun 1998, telah menerapkan multi partai, namun sistem ini masih berjalan setengah hati, ibaratnya sebuah perusahaan, dimana pemegang saham banyak terdiri dari partai tertentu seperti Golkar (Golongan Karya) dan ABRI. Di Indonesia, ada beberapa partai yang menerapkan sistem multi membership dan ada yang tidak. Tujuan dari multi membership adalah menyatukan perbedaan, tidak menegaskan perbedaan. Contoh paratai yang tidak menerapkan multi membership adalah partai yang berbasis agama. Partai yang multi membership  akan lebih banyak menjaring pengikut daripada  partai yang berbasis agama. Kepentingan minoritas pun dapat terwakili melalui multi membership, sementara partai berbasis agama kurang dapat membawa kepentingan minoritas.
Untuk prinsip demokrasi konsensus yang terakhir yakni pembagian wilayah dengan sistem otonom federal , dimana kekuasaan pusat ditentukan oleh kekuasaan-kekuasaan daerah otonom sebagai bentuk dinamika otonomi daerah, sudah terlaksana. Sementara untuk kepemimpinan masing-masing partai politik belum otonomi, masih terpusat, sehingga tak mengherankan jika terkadang timbul konflik atau perpecahan dalam tubuh suatu partai itu sendiri dan dapat terjadi dualisme kepemimpinan dalam sebuah partai, contohnya pada hasil Munas Golkar yang diselenggarakan  di Jakarta dan Denpasar Bali, tempo lalu.
Jika demokrasi di Indonesia sesuai dengan demokrasi konsensus, dan demokrasi konsensus ini benar-benar diterapkan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa bentuk demokrasi di Indonesia dapat mendekati demokrasi yang ideal.
II.5. GAMBARAN ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL
            Demokrasi ideal, ditandai dengan telah berkembangnya  sebuah etika dalam politik nasional, termasuk juga etika dalam koalisi partai politik. Dalam rangka meningkatkan perannya dalam membangun etika dan moralitas politik menuju Indonesia Baru yang beradab maka partai politik harus secara sungguh-sungguh melakukan rekruitmen kader yang berkualitas. Untuk itu  maka penyempurnaan sistem kaderisasi harus terus menerus dilakukan sehingga setiap partai politik mampu menyeleksi dan menghasilkan kader-kader politisi yang tangguh, memiliki integritas moral dan etika yang kuat, serta lebih daripada itu memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan rakyat. Secara jujur harus kita akui, secara kuantitatif dan kualitatif jumlah kader dengan kualifikasi semacam ini masih belum memadai.
Dalam rangka menuju ke sana maka pendidikan politik sebagai salah satu fungsi partai politik harus benar-benar dijalankan. Pendidikan politik akan lebih tepat diarahkan kepada dua sasaran sekaligus. Pertama, pendidikan politik kepada rakyat agar mengetahui dan menyadari hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara; dan kedua, pendidikan politik untuk para kader- kader politisi itu sendiri. Apabila partai-partai politik telah berfungsi dengan baik maka upaya untuk menciptakan terwujudnya Indonesia baru yang beradab dan bermartabat akan lebih mudah tercapai. Dan untuk menuju kesana jelas sekali diperlukan kesungguhan dari semua pihak, termasuk dari kalangan perguruan tinggi dan cendekiawan. Satu di antara komitmen yang mesti ditekankan dalam rangka pendidikan politik tersebut di atas adalah berkenaan dengan fungsi partai politik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.  Sebuah  partai politik harus menjadikan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai salah satu platform perjuangan utamanya. Perjuangan suatu partai politik di segala bidang bermuara pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat lahir dan batin. Dalam kaitan ini kami memandang politik sebagai instrumen dan managemen untuk mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera, adil dan makmur. Peningkatan kesejahteraan itu diwujudkan dalam bentuk antara lain peningkatan taraf hidup dan kecerdasan rakyat. Dengan sikap ini, maka sebuah partai politik mempertegas keberpihakannya kepada rakyat.
Ada pemandangan yang kurang baik terpancar dari sidang paripurna DPR dalam membahas kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di Gedung DPR, tanggal 30 Maret 2014 lalu. Pemandangan yang kurang baik itu bukan terpancar dari perdebatan sengit antara para anggota fraksi di DPR, yang diwarnai walkout fraksi PDIP dan Hanura, melainkan dari akrobat politik yang diperagakan sejumlah fraksi dari parpol yang tergabung dalam kapal koalisi pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kapal politik koalisi yang dibuat pada pemilu 2009 lalu tampaknya kembali oleng. Penumpang-penumpang koalisi berbobot besar seperti Golkar, PAN, PPP, terutama PKS mulai tak karuan lantaran ingin mencari aman sendiri. Politik pencitraan penuh pragmatisme pun dikemas parpol-parpol itu demi mencari rasa aman politik menyongsong Pemilu 2014. Penorama politik pencitraan seperti itu hampir serupa dengan yang terjadi pada sidang bailout Bank Century tahun 2010. Kapal koalisi ketika itu hampir karam dan pecah. Hanya saja dalam kasus BBM ini PKS sendiri yang secara tegas menyatakan menolak kenaikan harga BBM, sedangkan Golkar, PAN, dan PPP terkesan bermain politik abu-abu: di satu sisi tetap mendukung kebijakan pemerintah menaikan harga BBM sesuai kesepakatan koalisi, namun di sisi lain ingin tetap mendapat simpati rakyat dengan kalkulasi politiknya sendiri. Masing-masing yakin memiliki kebenaran politik.
Setiap fraksi di DPR yang bertikai dalam kaitan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM itu masing-masing meyakini kebenaran politiknya. Hanya saja, kebenaran dalam politik koalisi tersebut tidak lebih daripada kebenaran transaksional sesuai kepentingan bersama yang saling menguntungkan, bukan kebenaran obyektif. Selama kebenaran itu dirasa tidak menguntungkan partai, kebenaran itu menjadi kebenaran sendiri-sendiri. Sebaliknya, selama traksaksi itu menggiurkan kedua belah pihak, maka kebenaran bisa dikompromikan. Meski akhirnya parpol-parpol itu dicap sebagai “pengkhianat koalisi‘. Yang penting keuntungan politik bisa dipetik. Tampak jelas, kebenaran politik yang ditemukan dalam sidang paripurna DPR tersebut sangat pragmatis alias sementara dan langsung luntur oleh traksaksi politik yang terbangun kemudian. Apalagi dalam sejarah pertarungan politik di negeri ini tercatat tidak ada keberanian cukup tulus-murni dari para politisi dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan membela kepentingan bangsa dan negara secara penuh. Sehingga, begitu sulit menemukan partai atau politisi yang tampil sebagai “pendekar‘ kebenaran sejati di negeri ini. Padahal, kebenaran sejati sangat dibutuhkan saat ini di tengah situasi karut marut dengan ragam kehancuran akhlak publik. Tidak aneh jika yang terlihat adalah mengentalnya egoisme para anggota fraksi yang diperjuangkan dalam sidang paripurna itu adalah untuk memenangkan kepentingan partai. Dengan begitu, kontrak politik dan komitmen koalisi diangkat lagi. Sebagai partai yang pernah berikrar dalam koalisi, apa pun alasannya, harus memenangkan pertarungan di sidang paripurna, tidak peduli etis atau tidak.
Tatkala janji koalisi ditagih dan transaksi politik baru dibangun, para politisi yang tergabung dalam barisan koalisi tidak akan berdaya karena di antara mereka, jatah kekuasaan sudah dibagikan. Sebab, koalisi adalah kesepakatan politik dari sejumlah partai dengan kompensasi pembagian jatah kekuasaan demi bersama-sama menopang kebijakan-kebijakan pemerintah. Kekuatan koalisi terletak pada komitmen atas kesepakatan awal saat koalisi dibangun. Karena itu, tatkala dalam sidang paripurna kenaikan harga BBM “dibangun‘ kembali koalisi, di mana janji koalisi kembali ditagih, maka di sana mau tidak mau kesepakatan harus dibuat lagi demi menciptakan kesejatian politik koalisi. Di sini, kesejatian koalisi atau sisi etis koalisi adalah membangun politik yang jauh dari orientasi pragmatisme politik masing-masing. Yang ada adalah kepentingan bersama peserta koalisi. Kadang para politisi yang tergabung dalam koalisi kurang nyaman ketika mereka harus menghadapi situasi politik atau kebijakan politik yang tidak menguntungkan partai politiknya dan hanya lebih menguntungkan partai penguasa. Tetapi, di situlah konsekuensi politik berkoalisi, bukan hanya bergabung dan menyatakan kesetiaan politik dalam situasi politik yang menguntungkan partainya. Namun jika dirasa kurang menguntungkan, serta merta meninggalkannya. Tetapi yang benar adalah harus tetap mempertahankan kebersamaan politik, meski pahit.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam politik adalah kepercayaan-kepercayaan politik rakyat tetap melekat pada partai politik dus politisi di dalamnya adalah konsistensi dalam politik. Dalam hal ini, inkonsistensi PKS dalam berkoalisi, meski di satu sisi menginginkan agar citra dan popularitasnya di depan rakyat terjaga dengan menunjukkan diri sebagai partai pahlawan rakyat dengan cara bersama rakyat menolak kenaikan harga BBM, tetapi di sisi lain dapat menjadi bumerang hilangnya kepercayaan rakyat.
Konsistensi politik merupakan perekat tetap terbangunnya kepercayaan rakyat terhadap para politisi. Sebab, di situ pula letak kematangan dan kedewasaan dalam berpolitik. Rakyat tidak suka dengan sikap kekanak-kanakan dalam politik alias infantilisme politik. Bagaimana mungkin rakyat mempertaruhkan kepercayaan politiknya kepada politisi-politisi yang dilekati perilaku kekanak-kanakan alias infantil? Inilah persoalan penting yang mesti direfleksikan secara terus-menerus dalam berpolitik.  Dan itulah sebagai salah satu gambaran etika koalisi politik nasional yang terjadi di Indonesia saat ini.
II.6. MEMBANGUN  ETIKA KOALISI POLITIK NASIONAL MENUJU   DEMOKRASI YANG IDEAL
            Apabila Demokrasi Konsensus diterapkan secara benar, adalah hal mudah dalam membangun sebuah etika koalisi politik nasional. Dimana adanya koalisi politik nasional akan memberikan manfaat yang baik dalam penetapan deregulasi/aturan dan arah kebijakan pemerintahan yang baik. Koalisi partai politik justru akan memberikan dan menjadi kekuatan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang harmonis dimana  ketiga lembaga tinggi negara, baik eksekutif, legislative dan yudikatif saling bekerjasama bersinergi dalam menentukan arah kebijakan bersama-sama membangun Indonesia dengan pemerintahan yang lebih baik, dengan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat daripada kepentingan pribadi ataupun kepentingan partai.
Koalisi Politik nasional yang beretika menjadi salah satu  indikasi keberhasilan suatu demokrasi yang ideal. Demokrasi yang ideal menghasilkan suatu bentuk pemerintahan yang baik, atau dalam literature pemerintahan sering disebut “Good Governance”.  Menurut lembaga tertinggi negara Indonesia, yang dimaksud dengan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hal ini tertuang dalam TAP MPR No. XI/MPR/1999. Yang mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa serta dalam penyelenggaraan negara harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (Adisubrata, 2002).















BAB III
PENUTUP


III.1 KESIMPULAN
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Etika membahas bagaimana manusia bersikap terhadap segala sesuatu yang ada.
Politik memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.
Etika politik merupakan sebuah cabang dalam ilmu etika yang membahas hakikat manusia sebagai makhluk yang berpolitik dan dasar-dasar norma yang dipakai dalam kegiatan politik. Hukum dan kekuasaan negara merupakan pembahasan utama etika politik dengan pokok permasalahan utama adalah legitimasi etis kekuasaan. Dimana legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Nilai pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan bernilai apabila sesuatu  itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan lain sebagainya. Berdasarkan penjabarannya nilai dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Norma adalah struktur nilai yang menjadi pedoman penilaian tingkah laku manusia yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas suatu motivasi tertentu. Sedangkan moral merupakan suatu ajaran ataupun wejangan, patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

III.2. SARAN
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila Pancasila. Etika politik Pancasila harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Peran Pancasila sebagai sumber etika politik di Indonesia harus benar-benar dipahami oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang terjadi dewasa ini.
Alangkah baiknya bahwa setiap partai politik di Indonesia menyadari bahwa ini bukanlah semata-mata masalah kekuasaan, tapi bagaimana bangunan koalisi yang dibentuk mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Partai politik tidak hanya bisa melesat dengan mencapai suara dominan, namun juga harus mampu menjawab harapan publik. Sehingga partai politik mampu melakukan fungsinya, yaitu mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan publik. Karena partai politik merupakan saluran yang tepat menyampaikan berbagai persoalan yang berkembang. Sehingga, partai politik tidak lagi dinilai semata-mata alat manipulasi publik pada saat Pemilu lima tahun sekali. Karakter partai politik sudah seharusnya santun dan representatif. Sebagai wakil rakyat, sebuah partai politik atau institusi negara wajib mengemban amanah dan kehendak rakyat. Demokrasi perlu dijalankan dengan sepenuh hati sesuai moral power dan etika politik sebab janji partai saat masa kampanye pada waktunya akan ditagih rakyat.
Para elite politik mulai tahun 2015 ini diharapkan bisa menampilkan wajah politik Indonesia yang bermartabat, berkebudayaan dan memiliki kesantunan. Perseturuan yang tidak usai antara dua kubu di DPR pun diharapkan bisa terselesaikan dengan sempurna. Sehingga keduanya bisa menyiapkan pembangunan Indonesia yang lebih baik ke depan bersama-sama demi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.



DAFTAR PUSTAKA

Franz Magnis-Suseno, 2001. Etika Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum
Imam Hidayat, 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998. Jakarta: Departemen Pendidikan dan   Kebudayaan
K. Bertens, 2000. Judule opo. Kota terbit: Penerbit
Rusadi Kantaprawira, 2006. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algendindo.
Winanrna Surya Adisburata, 2002. Etika Pemerintahan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
https://ajichrw.wordpress.com/2009/07/21/membangun-etika-dan-moralitas politik-nasional-menuju-indonesia-baru-yang-beradab

    



No comments:

Post a Comment