UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGAM
STUDI : ILMU ADMINISTRASI NEGARA
SOSIOLOGI
Terakreditasi
B berdasarkan SK BAN-PT Nomor : 010/SK/BAN-PT/Ak-XV/S/I/2013
Alamat : Dalem
Mangkubumen KT III/237 Yogyakarta 55132 Telp. (0274) 7112403, 374352 Fax.
(0274)381722
JAWABAN SOAL
UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL T.A. 2013/2014
Mata Kuliah : Filsafat Budaya Mataram (AN) &
Kebudayaan Matam (SOS)
Dosen : H. Heru Wahyukismoyo S.Sos. M.Si
Nama Mahasiswa :
Firman Pribadi
Nomor Mahasiswa :
131312178
Fakultas :
Isipol
Jurusan : Administrasi Negara
Semester :
Ganjil Tahun 2013 / 2014
1.
Maksud
dari memberikan alternatif bagi dunia pendidikan di indonesia adalah :
Universitas Widya Mataram diharapkan mampu menjadi universitas
kehidupan yang berbasis Multi- kulturalisme, Humanisme dan Spriritualisme bagi
bangsa Indonesia, Sehingga pada suatu saat nanti mampu melakukan tranfer of
knowledge dari peradaban masa lalu untuk menjawab tantangan masa depan serta
mampu melakukan enlightmen/pencerahan terhadap peradaban baru(globalisasi) yang
serba maya,abstrak dan absurd (virtualis), Bahwa Sri Sultan Hamengku Buono
adalah alumni Fakultas Indologi, Rijk Universiteit, Laiden yang melandasai pola
berpikirnya dan sangat menyadari bahwa peradaban barat (demokrasi) dapat hidup
bersanding dengan peradaban timur (budaya) secara harmonis tanpa harus
kehilangan jati dirinya sebagai orang jawa. Dan diharapkan Mata Kuliah Budaya
mataram ini agar dapat memenuhi harapan pendiri dan penerus kelangsungan proses
belajar dan mengajar pada Universitas yang berbasis Budaya dengan Nama
Universitas Widya Mataram yang harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang
mencakup :
Obyek, Filsafah
Budaya Mataram merupakan obyek pembahasan atau materi kuliah yang mengali kembali
hasil cipta, rasa dan karsa (budi daya) manusia Indonesia/ Nusantara sebagai
modal sosial (sosial capital) berupa pusaka budaya yang bersifat tangible
maupun intangible untuk dapat diwariskan dari generasi ke generasi, Obyek atau
materi Filsafat Budaya mataram adalah segala unsur-unsur nilai-nilai yang
tercermin dalam kehidupan sosial budaya masyarakat indonesiabaik berupa
nilai-nilai luhur , kepribadian, sifat, karakteer, pola-pola budaya, adat
istiadat,norma sosial (intangible) maupun hasil budaya berupa badik,
keris,wayang, gamelan,tari, sastra,kuriner, keroncong, maupun benda cagar
budaya/kawasan cagar budaya.Methode, Filsafat Budaya mataram merupakan materi
kuliah yang disajikan dibahas secara sistematis sebagai pendekatan guna mencari
kebenaran secara ilmiah maupu secara akademis, Mengadopsi methide
Analitiko-sitesis yang di gagas oleh Prof.dr. Notonegoro, mata kuliah Filsafat
Budaya Mataram dapat dijadikan sebuah ilmu menmelalui cara menganalisis
obyek/materi kemudian di sintesakan dan dirumuskan secara komprehensif sehingga
dapat di jadikan pedoman kuliah. Sistematis, menurut IR Poerdjawijatna bahwa
suatu ilmu harus mempunyai satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kesatuan
tersebut mempunyai bagian-bagian yang saling berhubungan, baik berupa hubungan
interelasi, interdependensi secara keseluruhan yang bulat menyangkut ajaran
filsafat, agama, sosial, budaya,politik dan sistem yang di anaut oleh dinasti
Mataram. Universal, kebenaran suatu ilmu pengetahuan harus dapat diterima
secara universal, baik menyangkut ruang, waktu dan tempat. Ilmu yang bersifat
universal ,abstrak dan umum harus mencakup secara ilmiah dari serentetan
pertanyaan-pertanyaan yang deskriptif (bagaimana?),secara kausal (mengapa),
secara normatif (Kemana?), secara esensial (Apa) maka dapat disimpulkan bahwa
mata kuliah Filsafat budaya mataram adalah mempelajari hakekat atau proses
berpikir atau cara perpikir para pendiri Mataram dalam hal Cipta, rasa dan
karsa (tri-karya) serta Falsafat Budaya Mataram juga tidak dapat di pisahkan
dari Universitas Kehidupan yang selama ini digagas oleh Sri Sultan hamengku
Buono IX serta beliau ingin menunjukah bahwa di Yogyakarta terdapat sebuah
Universitas dengan Kulture Budaya yang kental dan dapat di pelajari tidak hanya
oleh warga negara Indonesia tetapi juga warga negara asing yang datang ke
yogyakarta tidak hanya ingin menuntut ilmu tetapi juga ingin mengenal lebih
dekat Universitas Widya Matarm yang
berbasis budaya seta ingin mengali lebih dalam kebudayan yang mempunyai nilai
Filosofi tinggi dan menjadi cikal bakal dari kebudayaan di indonesia yang
selama ini diajarkan di Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
2. Yogyakarta
Istimewa karena tiga hal yaitu :
a.
Menurut Pasal 18 UUD
1945 Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab VI Pasal 18 (II)
tentang Pemerintahan Daerah bahwa:
“Dalam teritorial Negara Republik Indonesia
terdapat +_ 250 Zelfbesturende
landschappen danvolksgemeenscappen seperti desa di Jawa dan Bali,
Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”. Penjelasan
umum Undang-Undang Pemerintahan Daerah terdapat dalam dasar pemikiran
bahwa :
a. Sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Melihat
isi pasal UUD RI 1945 Bab VI Pasal 18 (II) serta isi dari Penjelasan Umum UU
tentang Pemerintahan Daerah jelas membuktikan bahwa Negara sangat menghargai
keistimewaan atas daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa dengan segala konsekwensi logisnya
sebagaimana amanat UUD 1945, pasal 18 beserta penjelasannya yang kemudian
diubah/diamandemen pada tahun 2000 tanpa melalui referendum dan sekarang
menjadi AMANDEMEN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945, pasal 18 b yang isi
pasal, ayat dan penjelasannya masih sama. Proses perjalanan pemerintahan Negara
Republik Indonesia pasca kemerdekaan yang belum stabil mengharuskan perpindahan
Ibu Kota Negara RI dan Yogyakarta adalah sebagai pilihan terbaik dengan
mempertimbangkan asset – asset milik Kraton Yogyakarta dapat menjadi sarana
pendukung utama bagi terselenggaranya pemerintahan, terutama dalam menindak
lanjuti rumusan dasar – dasar kebangsaan yang masih memerlukan perangkat
yuridis untuk dapat dioperasionalisasikan dan di sosialisasikan kepada masyarakat
Indonesia.
b. Menurut UU Nomor 3 tahun 1950 yang dikeluarkan oleh negara bagian Republik
Indonesia yang beribukota di Yogyakarta pada maret 1950, keistimewan DIY
mengacu pada keistimewaan yang diberikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1948 yaitu
Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang
berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih
menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan,
dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu, untuk Daerah
Istimewa yang berasal dari gabungan daerah kerajaan dapat diangkat seorang
Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat sama seperti kepala
daerah istimewa. Sebab pada saat itu daerah biasa tidak dapat memiliki wakil
kepala daerah. Adapun alasan keistimewaan Yogyakarta diakui oleh pemerintahan
RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun
1950 mengenai pembentukan DIY), adalah Yogyakarta mempunyai hak-hak asal usul
dan di zaman sebelum Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan sendiri
yang bersifat Istimewa (zelfbestuure landschappen).
Menurut UU Nomor 13 tahun 2012 Keistimewaan
DIY meliputi :
Tata cara
pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan
Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan dan tata ruang.
Kewenangan
istimewa ini terletak di tingkatan Provinsi dalam tata cara pengisian jabatan
gubernur dan wakil gubernur salah satu syarat yang harus dipenuhi calon
gubernur dan wakil gubernur adalah bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono
untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil
Gubernur. Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diselenggarakan untuk
mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi,
dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli yang
selanjutnya diatur dalam Perdais. Kewenangan kebudayaan diselenggarakan untuk
memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa
nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur
yang mengakar dalam masyarakat DIY yang selanjutnya diatur dalam Perdais. Dalam
penyelenggaraan kewenangan pertanahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualamanan dinyatakan sebagai badan hukum. Kasultanan dan Kadipaten berwenang
mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk
sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan
masyarakat. Kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang terbatas pada
pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten yang
selanjutnya diatur dalam Perdais. Perdais adalah peraturan daerah istimewa yang
dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernur untuk mengatur penyelenggaraan Kewenangan
Istimewa. Selain itu, pemerintah menyediakan pendanaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
b. Kepala Pemerintahan DIY di Jabat oleh
sultan dan adipati pakualam
Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah
Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak
asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250 zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen serta bukti - bukti
authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum
maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam
memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam
hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari
penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah
setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober
1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa dalam hal Kepala
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati
yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang
menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan
ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang
bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
c.
Amanah 5 September 1945
Adanya “Ijab Qobul” dimana Piagam
Kedudukan 19 Agustus 1945 yang merupakan LAMARAN dari Republik
Indonesia dalam hal ini oleh Ir. Soekarno sebagai Presiden kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono IX sebagai Penguasa Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat
telah DITERIMA dengan MAHAR yang tertuang dalam Amanah Sri
Sultan Hamengku Buwono IX pada 5
September 1945.
d.
Amanah SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX, 5
September 1945
Bahwa Negeri
Ngayogyakarto Hadiningrat yang bersifat Kerajaan adalah Daerah Istimewa dari
Negara Republik Indonesia.
Bahwa kami
sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto
Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala
urusan Pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini
berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami Pegang seluruhnya.
Bahwa
perhubungan antara negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat
Negara Republik Indonesia,bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas
Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami
memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat
mengindahkan Amanah Kami ini.
Undang-Undang
No. 3 Tahun 1950 merupakan “IKATAN” yang berupa Status Keistimewaan DIY
menjadi bukti diterimanya “MAHAR” yang berupa Amanah Sri Sultan Hamengku Buwono
IX, 5 September 1945 oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pengawal Amanah HB IX, 5 September
1945
Leaflet (Selebaran) ini harap
disimpan sebagai pegangan memperjuangkan keistimewaan DIY
e.
Amanah 30 Oktober 1945
AMANAT
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN
KANGDJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO IX DAN SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN
ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII, KEPALA DAERAH ISTIMEWA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Mengingat:
Dasar-dasar jang
diletakkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah kedaulatan
rakjat dan keadilan sosial.
Amanat Kami
berdua pada tgl.28 Puasa, Ehe 1876 atau 5-9-1945. Bahwa kekuasaan-kekuasaan
jang dahulu dipegang oleh Pemerintah djadjahan (dalam djaman Belanda
didjalankan oleh Gubernur dengan kantornja, dalam djaman Djepang oleh Kōti Zimu
yoku Tyōkan dengan kantornja) telah direbut oleh rakjat dan diserahkan kembali
kepada Kami berdua. Bahwa Paduka Tuan Komissaris Tinggi pada tanggal 22-10-1945
di Kepatihan Jogjakarta dihadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh para
Pembesar dan para Pemimpin telah menjatakan tidak perlunja akan adanja
Sub-comissariat dalam Daerah Kami berdua.
Bahwa pada
tanggal 19-10-1945 oleh Komite National Daerah Jogjakarta telah dibentuk suatu
Badan Pekerdja jang dipilih dari antara anggauta-anggautanja, atas kehendak
rakyak dan panggilan masa, jang diserahi untuk mendjadi Badan Legeslatif (Badan
Pembikin Undang-undang) serta turut menentukan haluan djalannja Pemerintah
Daerah dan bertanggung djawab kepada Komite National Daerah Jogjakarta,maka
Kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kangdjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII, Kepala Daerah
Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerdja Komite
Nasional Daerah Jogjakarta, dengan ini mejatakan:
Supaja djalanja Pemerintahan dalam
Daerah Kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia,
bahwa Badan
Pekerdja tersebut adalah suatu Badan Legeslatif (Badan Pembikin
Undang-undang) jang dapat dianggap sebagai wakil
rakjat dalam Daerah Kami berdua untuk membikin undang-undang dan
menentukan haluan djalanja Pemerintahan dalam Daerah Kami berdua jang sesuai
dengan kehendak rakjat.
Kami memerintahkan supaja segenap
penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanant kami
ini.
Jogjakarta, 24 Dulkaidah, Ehe 1876
atau 30 Oktober 1945
f.
PIAGAM Kedudukan 19 Agustus 1945
Piagam 19 Agustus
1945, adalah sebuah piagam yang diberikan oleh presiden pertama Republik
Indonesia, Presiden Sukarno, kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA
Paku Alam VIII. Piagam ini merupakan bentuk penghargaan atas bergabungnya
Kesultanan gayogyakarta dengan Republik Indonesia. Piagam ini terbagi 2, yaitu
untuk Sri Sultan Hamengku Buwono dan untuk KGPAA Paku Alam VIII yang berisi
sebagai berikut :
Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkeng
Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX
Kami, Presiden Republik Indonesia, menetapkan:
Ingkeng Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panotogomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada
kedudukannya,
Dengan
kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,
tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian
daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Sukarno
Piagam Kedudukan Sri Paduka
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
Kami, Presiden Republik Indonesia,
menetapkan:
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Ario Paku Alam VIII Ingkang Kaping VIII, pada kedudukannya,
Dengan
kepercayaan bahwa Sri Paduka Kangjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran,
tenaga, jiwa dan raga, untuk keselamatan Daerah Paku Alaman sebagai bagian
daripada Republik Indonesia.
Jakarta, 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia
Ir. Sukarno
Maka berdasarkan
piagam tersebut, kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam
VIII, telah ditetapkan sebagai penguasa dwitunggal di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Hal ini merupakan fakta sejarah, dan merupakan bagian dari
keistimewaan Yogyakarta. Dimana pemerintahan daerah berada di bawah kekuasaan
Sri Sultan Hamengku Buwono dan KGPAA Paku Alam. Hal ini yang menjadikan
Yogyakarta sebagai daerah yang istimewa, karena berbeda dengan daerah lain yang
memiliki kepala daerah berdasarkan pemungutan suara, Yogyakarta memiliki
penguasa tetap yang diangkat dari keluarga kerajaan.
Menanggapi sikap hormat Presiden
Sukarno kepada Daerah Istimewa Yogyakarta, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan KGPAA Paku Alam VIII, memutuskan untuk bersikap kooperatif dengan
mengeluarkan Amanat 5 September 1945.
Demokrasi
Budaya Hasil Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buono IX
“Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya
adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa
Barat dan Timur agar dapat bekerja-sama dalam suasana yang harmonis, tanpa yang
Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan
Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya tetap adalah orang Jawa. Maka
selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama
dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato
saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan
Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya“
Pemikiran ini muncul dipengaruhi oleh
pendidikan keluarga dengan latar belakang budaya yang sudah menjadi bagian
dalam kehidupannya di dalam lingkup beteng Kraton Yogyakarta dan pemikiran
barat dipengaruhi oleh pendidikan formal dalam menempuh studi tingkat
doctoralnya di Rijksuniversiteit, Leiden, pada Fakulteit Indologi.
a. Strategi Budaya untuk Demokrasi
& Politik :
Rentang perjalanan kemudian, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX melahirkan pemikiran tentang
pendidikan politik dan demokrasi budaya, yaitu
dengan cara mengubah sistim pemrintahan monarchi absolut menjadi pemerintahan
demokrasi diawali dengan menerbitkan Surat Kawat (telegraaph), 18 Agustus 1945
yang isinya adalah mendukung dan menyambut gembira atas diproklamirkan teks
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia , pada tanggal 17 Agustus 1945
Dukungan politik dan dukungan moral Sri Sultan Hamengku Buwono
IX selaku Raja/Kepala Pemerintahan Nagari Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat
terhadap berdirinya pemerintah Republik Indonesia memiliki pengaruh psikologis
terhadap raja – raja lainnya di Nusantara dan merupakan pukulan telak bagi
Belanda yang selama ini membujuk dan merayu agar Sultan mau menjadi Wali Tanah
Jawa atau Raja diraja Tanah Jawa, sehingga dengan demikian Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia batal demi hukum karena masih ada negara dalam
negara (enclave).
Atas dasar pengorbanan dan perjuangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII inilah, pada tanggal 19 Agustus 1945 dikeluarkan Piagam
Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berkuasa penuh atas kedua wilayah
setingkat propinsi dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia dan diberi
nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Demokratisasi Melalui
Pendidikan Multikultural :
Pendidikan Multikultral yang
didalamnya memuat nilai – nilai demokrasi dan budaya hasil
pemikiran Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dapat direkonstruksikan kembali melalui karya Tari Golek Menak yang
menggabungkan perpaduan budaya etnis Jawa-Minang-Sunda serta perpaduan
filosofis unsur Parsi-Cina-Nusantara dalam sebuah cerita Wong Agung Jayengrana
(epos perjuangan Amir Hamzah). Memahami latar belakang pemikiran tentang makna
simbolik Tari Menak sebagai model pendidikan Multikultural atas dasar
Pluralisme Budaya & Filsafat yang mempertemukan budaya Etnis Jawa-Minang-Sunda
dan Filsafat Parsi-Cina-Nusantara sampai saat ini masih menjadi misteri karena
masih sebatas esoteris dengan pementasan pagelaran tari, namun belum dikaji
secara mendalam tentang hakekat dan makna filosofisnya. Padahal pendidikan
multikultural menurut pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dibalik tari
Menak sesungguhnya penonton harus mampu memahami keunggulan komparatif mengenai
suku Jawa – Minang – Sunda sebagai pilar kebangsaan, maupun memahami keunggulan
filosofis mengenai peradaban bangsa Parsi – Cina – Nusantara sebagai pilar
ketahanan global.
Disisi lain untuk memahami konsep pemikiran tentang pendidikan yang universal
dapat diungkap melalui Pidato Penobatan sebagai Raja yang intinya adalah adanya
kesadaran bahwa Tugas yang ada dipundaknya adalah sulit dan berat, kemudian
tuntutan untuk mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja-sama dalam
suasana yang harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya.
Disisi lain Sultan Hamengku Buwono IX yang masih sangat muda dalam usia 28
tahun, harus mempertahankan identitas diri sebagai orang Jawa, walau telah
mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya tetap
adalah orang Jawa, demikianlah pernyataannya dan tentu saja dibalik kandungan
kalimat ini ada maksud – maksud dan latar belakang pemikiran yang berkaitan
situasi dan kondisi saat itu.
Tugas berat lainnya adalah upaya mempertahankan eksistensi kraton, dengan
catatan selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang
utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Kemudian sebelum menutup
pidatonya Sultan Hamengku Buwono IX berjanji, semoga dapat bekerja untuk
memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang
ada padanya.
Kemudian apakah masyarakat dan penerus dinasti Mataram memahami secara benar
amanat Tahta
Untuk Rakyat, apakah dalam konteks
Demokrasi Budaya sebagai Amanat Tahta Untuk Rakyat ini sebagai strategi budaya
untuk mempertahankan eksistensi Kraton Yogyakarta ditengah perubahan jaman
sekaligus sebagai bukti bahwa konsep demokrasi budaya adalah manifestasi atas
konsepsi untuk mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja-sama dalam
suasana yang harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya.
c.
Demokrasi Budaya Sebagai Konsep Politik :
Pendidikan,
Kebudayaan, Sejarah, Filsafat dan Agama adalah merupakan landasan yang sangat fundamental
dalam membentuk karakter bangsa, seseorang tidak akan mungkin memiliki
kepribadian yang utuh tanpa memahami sejarah, budaya dan filsafat, demikian
pula seseorang tidak memiliki keseimbangan lahir dan batin kalau tidak
mempelajari agama sebagai kekuatan spiritualitas, prasyarat untuk memahami
keempat pokok persoalan diatas harus melalui pendidikan
Yogyakarta mampu berperan dalam meng-Indonesia-kan Indonesia, Yogyakarta
sebagai miniatur Indonesia telah menjadi alma-mater yang mampu memberikan
edukasi bagi para pelajar dan mahasiswa untuk memahami betapa pentingnya
memahami Indonesia sebagai satu kesatuan identitas dan entitas yang berdiri
atas dasar pluralisme. Keaneka ragaman suku, bahasa, ras, adat-istiadat dan
agama justru menjadi spirit ethno nasionalisme dan ternyata Yogyakarta sebagai
ibu-pendidik mampu menawarkan semangat ethno-centrisme yang dibawa oleh masing
– masing anak didiknya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebelum meninggal, telah
mewariskan amanat Tahta Untuk Rakyat, Pesan Pendidikan melalui Universitas
Widya Mataram yang isinya adalah : ”Saya tidak ingin menambah deretan panjang
jumlah perguruan tinggi di Yogyakarta, tapi saya ingin memberi alternatif bagi
dunia pendidikan di Indonesia”. Sementara itu, amanat dalam bentuk Tari Menak
sebagai makna simbolik tentang Pluralisme yang telah mempertemukan budaya Etnis
Jawa-Minang-Sunda dan Filsafat Parsi-Cina-Nusantara merupakan konsep demokrasi
budaya dan multikulturalisme yang belum terjawab dan direkontekstualisasikan
kembali sesuai tuntutan jamannya hingga saat ini.
3. Kepemimpinan Sultan Agung, Kepemimpinan Sri Sultan
HB I dan Kepemimpinan Sri Sultan HB IX
a. Falsafah Sastra Gending
Falsafah
kepemimpinan Sultan Agung, yang diungkapkan lewat Serat Sastra Gendhing.
Falsafah ini memuat tujuh amanah. Amanah pertama, swadana maharjeng
tursita, menyebutkan bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sosok
intelektual, berilmu, jujur, dan pandai menjaga nama, mampu menjalin
komunikasi atas dasar prinsip kemandirian. Kedua, bahni bahna amurbeng
jurit, menyebutkan bahwa seorang pemimpin harus selalu berada di depan dengan
memberikan keteladanan dalam membela keadilan dan kebenaran. Ketiga, rukti
setya garba rukmi, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad
bulat menghimpun segala daya dan potensi guna kemakmuran dan ketinggian
martabat bangsa. Keempat, sripandayasih krani, yaitu pemimpin harus
memiliki tekad menjaga sumber-sumber kesucian agama dan kebudayaan, agar
berdaya manfaat bagi masyarakat luas. Kelima, gaugana hasta, yaitu
seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, dan seni tari
guna mengisi peradapan bangsa. Keenam, stiranggana cita, yaitu seorang
pemimpin harus memiliki keinginan kuat untuk melestarikan dan mengembangkan
budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membawa obor kebahagiaan umat
manusia. Ketujuh smara bhumi adi manggala, yaitu seorang pemimpin
harus menjadi pelopor pemersatu dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu, serta berperan dalam perdamaian di dunia
b.
Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana
Sri Sultan
Hamengku Buono I adalah seorang raja yang terkenal dengan berbagai predikat,
baik kesatria, pahlawan, ulama, alhi strategi perang, arsitek ulung maupun alhi
olah sastra dan memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang sangat kuat
Redi-Tinamping, pola-pikir filosofi
seorang pemimpin merupakan cerminan pribadi, maka harus intropeksi diri di
tengah-tengah kawulo alit sebagai pendukung kekuasaan.
Jiwan-Danarto, seorang pemimpin
hakikatnay juga seorang interprestator dan harus visioneer, maka wajib memiliki
kemampuan mengiterprestasikan terhadap setiap fenomena atau gejala apapunyang
sedang maupun akan terjadi, yang terlihat maupun tidak terlihat di depan mata.
Lir-Ginelar , Patronase kebijakan
kepemimpinan berdasar hasil musyawarah –mufakat dari berbagai masukan diantara
kerabat – pendukungnya Pitraya-Inyika, Sebagai seorang pemimpin sudah menjadi
keharusan untuk berderma kepada kawulo alit. Andaya-Wilang, Seorang pemimpin
harus selalu tanggap ing sasmita terhadap pergolakan hati rakyatnya dengan
dasar pertimbangan rasanya, sebagai ajaran tri rasa : Ewuh Pekewuh, Dugo
prayogo, dan Rasa Rumangsa.
Surya-SriBhawanti, Pemimpin harus menjadi
tokoh pelindung peradaban, budaya, agama, persaudaraan umat dan cita-cita
kemerdekaan
Rohartaya, Pemimpin hendaknya
selalu insyaf bagaimana memanfaatkan peradaban barat bagi kepentingan negara.
Traju-Trasna,
Seorang pemimpin harus berlalu adil, arif-bijaksana, welas-asih dan tidak mabuk
pujian. Hamemayu hayuning bawana merupakan salah satu filosofi jawa, yang
secara harfiah berarti menjaga keseimbangan kehidupan dan keselarasan dunia.
dalam konteks yang lebih luas dapat diartikan sebagai keseimbangan antara jagad
kecil, mikrokosmos (manusia) dengan jagad besar/alam semesta. Keseimbangan ini
diwujudkan dalam perilaku manusia yang senantiasa menjunjung tinggi etika dan
kebenaran. Keselarasan akan tercapai bila ada Ikatan manusia dengan Allah
SWT, berupa keyakinan dan kepercayaan yang diwujudkan dalam panembah lan
pangesti seperti ditulis dalam tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan
manusia manembah (sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa. Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka
manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa
menempatkan diri pada citra ke-Tuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja
untuk manusia, jagat sak isine (dunia dan seisinya) , tinggal bagaimana
manusia bekti marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar
tanggung jawabnya kepada Yang Maha Kuasa, sebab bawana (dunia) beserta seluruh
isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia. Ketika manusia sudah sampai pada
waktunya harus pulang kepada pangayuning Pangeran, berarti dari tidak ada
menjadi ada (ora ana dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya,
“sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang
mula-mulanira lan sirna“. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi wis
khatam/tamat. Semua akan kembali ke fitrahnya, ke asal muasalnya.
c.
Falsafah Tahta Untuk Rakyat
Falsafah ini
mengisyaratkan bahwa seseorang yang berasal dari sebuah keluarga kaya dan
tinggi pangkatnya apabila tidak dididik secara benar dan terlena dengan
kekayaan orang tuanya, maka kelak di kemudian hari ia tidak akan dapat
meneruskan trah keluhuran orang tuanya. Sebaliknya
seorang kawula alit yang mendidik anaknya dalam lingkungan
kehidupan yang sederhana dan apa adanya, namun memegang teguh jati diri
kemanusiaanya akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas dan meraih
derajat yang lebih tinggi. GRM Dorodjatun menjalani pendidikan di Eerste
Europese Lagere School B dan NeutraleEuropese Lagere School di
Yogyakarta, kemudian HBS di Semarang dan Bandung, untuk selanjutnya
meneruskan studi di Gymnasium Harllem dan Rijkuniversitet
Leiden Belanda. Di tengah pecahnya Perang Dunia II, pada masa akhir studi
doktoral indologinya, Dorodjatun mendapat panggilan untuk kembali ke tanah air
dari ayahandanya. Sampai di Jakarta, pada suatu malam di sebuah penginapan,
ayahandanya mewariskan pusaka keris Kyai Jaka Piturun sebagai simbol dialah
yang dikehendaki menjadi putra mahkota dan kelak akan mewarisi tahta. Dalam
perjalanan kereta menuju Yogyakarta, sang ayahanda kambuh sakitnya dan
mengalami kondisi kritis. Sesampainya di Yogyakarta ia langsung mendapatkan
perawatan di rumah sakit. Namun takdir ternyata menghendaki Ngarsa Dalem HB
VIII dipanggil menghadap Tuhan Sang Sangkan Paraning Dumadi. Dorodjatun
yang masih sangat muda, 28 tahun, tentu saja sangat terpukul dan mau tidak mau
harus siap memanggul beban berat untuk melanjutkan tahta
dari trah Mataram. Kejadian ini terjadi di penggalan akhir tahun 1939
Adalah sebuah ketentuan yang telah digariskan
oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda bahwa seorang sultan yang akan naik
tahta harus memperbaharui kontrak politik. Maka dimulailah sebuah perundingan
untuk merumuskan isi kontrak yang baru antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Yogyakarta
Lucian Adam. Lucian Adam adalah seorang politisi tulen berusia menjelang
60-an. Pengalaman karir di militer dan kepemerintahan
menjadikannya mumpuni dan sangat menguasai lika-liku kelicikan lobi
tingkat tinggi. Namun Dorodjatun, Sang Putra Mahkota adalah pribadi yang sedari
kecil telah mengerti seluk-beluk sifat dan sikap orang Belanda, ditambah lagi
ia jebolan fakultas indologi yang sangat intensif melakukan praktik-praktik
debat serta adu argumentasi. Oleh karena itu perundingan dalam merumuskan
kontrak baru menjadi berlarut-larut dan tidak selesai hingga kurun waktu Maret
1940. Hanya oleh sebuah bisikan gaib di keremangan senja yang mengatakan agar
Dorodjatunmeneken kontrak dan tidak usah bimbang berpikir panjang karena
Belanda tak lama lagi akan hengkang dari Nusantara, maka Dorodjatun
menanda-tangani draf kontrak tanpa melihat dan membaca apa isi kontrak
tersebut. Maka pada 18 Maret 1940 GRM Dorodjatun dikukuhkan naik singgasana
menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Hamengku Buwono IX. Perang Pasifik atau
Asia Timur Raya segera meletus dan Jepang berhasil menguasai Nusantara. Masa
penjajahan Jepang adalah masa penderitaan yang sangat menyengsarakan rakyat
karena semua hasil bumi dirampas penjajah untuk keperluan perang. Dalam membela
nasib kawula Ngayojakarta Hadiningrat, HB IX menyiasati dengan
memberikan data-data statistik seperti jumlah penduduk, luas sawah, jumlah
hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil bumi lainnya dengan data yang
tidak akurat. Bahkan Sultan memberikan keterangan bahwa sebagian besar
wilayahnya adalah daerah rawa-rawa yang tidak subur dan sebagian yang lain
merupakan tanah tandus yang tidak cocok untuk pertanian. Laporan ini dijadikan
alasan untuk meminta dana guna pembangunan sebuah selokan yang menghubungkan Kali
Progo dan Kali Opak untuk mengairi sawah di sepanjang wilayah Kasultanan.
Selain mendapatkan manfaat irigasi, pembangunan saluran air ini sekaligus untuk
mengalihkan kewajiban kawulo Ngayojakarta
dari romusha sebagaimana diterapkan di wilayah lain. Sebagaimana
diyakini bangsa Jawa melalui ramalan Jayabaya, bangsa Jepang hanya menjajah
Nusantara dalam hitungan seumur jagung alias tiga setengah tahun. Momentum
inilah yang menghantarkan bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945. Dua hari berselang, Sri Sultan HB IX
mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta dan menyatakan diri
mendukung kemerdekaan RI. Memperkuat dukungan itu, pada 5 September 1945 HB IX
mengeluarkan amanat bahwa Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat menjadi bagian
dari Republik Indonesia dan menjadi sebuah daerah istimewa yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden RI. Amanat yang sama dikeluarkan juga oleh
KGPAA Paku Alam VIII sebagai penguasa Puro Pakualaman. Inilah babak baru
pengabdian HB IX dalam kancah perjuangan nasional. Belum genap satu tahun usia
kemerdekaan, Belanda melancarkan agresi militernya dan menduduki ibukota
Jakarta. Dengan tangan terbuka, HB IX menawarkan diri agar ibukota RI
dipindahkan ke Yogyakarta. Maka mengungsilah pemerintah dan seluruh
kelengkapannya ke kota perjuangan Yogyakarta. Tidak hanya terhenti di situ, HB
IX bahkan tak segan-segan mengelurkan dana pribadi kraton untuk menggaji para
menteri dan pegawai pemerintah agar pemerintahan RI tetap tegak dan tidak terjadi
penyeberangan ke pihak Belanda. Inilah jejak keistimewaan Yogyakarta yang
memangku dan menyuapi saudara mudanya, Republik Indonesia, yang entah seperti
apa nasibnya bila HB IX tidak melakukan pengorbanan-pengorbanan yang luar biasa
pada waktu itu.
Kisah selanjutnya mengalir mulai
dari aksi Serangan Umum 1 Maret 1949, penyerahan kedaulatan dan pembentukan
RIS, masa demokrasi terpimpin, orde lama, hingga kiprah Sultan HB IX di masa
orde baru sebagai Wakil Presiden RI. Buku ini merupakan rujukan luar biasa bagaimana
seorang yang memiliki derajat trah ningrat yang tinggi namun tidak
lepas dari sikap dan sifat kesederhanaan hidup serta pengorbanannya yang luar
biasa bagi hidup dan kemanusiaan. Dia sosok yang senantiasa menempatkan
kepentingan orang lain, bangsa, dan negaranya di atas kepentingan pribadinya.
Dialah sosok raja yang mempersembahkan tahtanya untuk rakyat yang sangat
dicintainya. Dialah seorang raja yang mampu utuh menjadi manusia sejati dengan
sikap
adiluhung
4.
Ajaran Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling
Kawulo Gusti
Manusia dalam
pemahaman kultur Jawa khusunya adalah mikro kosmos (jagat cilik) dan merupakan
satu kesatuan dengan Makrokosmoas (jagad gede) dalam tarah pemahaman tertentu
pengertian satu kesatuan ini berupa peleburan diri manusia dengan alam semesta.
Prinsip dasar pengertan adalah tingkat kesadaran manusia untuk menyatu kedalam
alam dan membawa alam menyatu terhadap dirinnya sendiri, untuk memahami
eksitensi alam dalam diri manusia, diperlukan perenungan tentang keberadaan
manusia dan alam sebagi ciptaanya.dalam kaitanya dengan kraton makrokosmos
selalu di kaitkan dengan empiris dapat diterapkan raja dalam kekuasaan yang
mikro kosmos,jelasnya unsur yang ada dalam kesultanan akan terpusat pada raja
(pancer) hal ini menunjukan bahwa berdasarkan kosmopolitan kekuasaan lebih
bersifat sentralis.Kasutanan yogyakarta yang menganut pola pembagian wilayah
model lingkaran konsentris. Yang menjadi pusat adalah Sultan yang disusul
lingkaran pertama adalah lingkaran kraton, kemudiang berturut-turut lingkaran
kedua Negara (Ibu kota), ketiga Negara Gung dan keempat Mancanegara.
Harmonisasi struktur kosmologi kraton juga dilihat dari istilah Kiblat papat,
lima Pancer. Berdirinya kota yogyakarta merupakan filosofis, aspek planlogi,
kondisi social budaya, seta kondisi pemerintahan makna bangunan kraton secara keindahan
estetika dan arsitekturnay tidak bisa hanya di kagumi belaka namun memiliki
nilai filosofis yang sangat tinggi nilainya, apabila dilihat dari atas ?
replika bangunan kraton antara Tugu – Ringin Kurung Alun – alun Utara –
Pagelaran – Siti Hinggil - Bangsal Witono – Ksatrian – Pamijen – Keputren –
Magangan – Kemandungan - Sasono Hinggil - Ringin Kurung “Wok” Alun – alun
selatan – Panggung Krapyak menggambarkan dua sosok manusia laki-laki dan perempuan
yang tidur terlentang. Bangunan diatas merupakan manifestasi ajaran luhur
pendiri Mataram yang ingin “mewariskan” nilai filosofis bagi masyarakatnya agar
senantiasa ingat akan jati dirinya serta eksistensi dirinya dalam kehidupan
sosial masyarakat. Bangunan kraton secara “mikro – kosmos” menggambarkan
kosmologi Jawa yang dapat dimaknai sebagai ajaran “Sangkan Paraning Dumadi,
Manunggaling Kawulo lan Gusti”
Konsep filosofis – kultural ini mengambarkan
hubungan antar manusia “Habluminannas”, serta mengajarkan darimana, kemana dan
bagaimana manusia berasal hingga mati. Manusia yang berasal dari segumpal darah
“plasma nutfah” hasil hubungan sosok manusia laki – laki dan perempuan
merupakan cikal bakal yang berproses melaui kelahiran dari generasi ke generasi
atas dasar pertimbangan “bobot, bibit, bobot” yang tidak terlepas dari
ketentuan Tuhan yang Maha Kuasa.Sedangkan makna simbolis antara Gunung Merapi –
Tugu – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan menggambarkan jagad ageng atau
makro – kosmos yang dapat dimaknai sebagai hubungan antar manusia dengan sang
Penciptanya atau “Manunggaling Kawulo lan Gusti” sebagaimana implementasi
ajaran tauchid terhadap manusia dan agar selalu ingat akan kekuasaan Allah Sang
Maha Pencipta “Hablumminallah”.Demikian arifnya ajaran para pendahulu Mataram
yang senantiasa mewariskan nilai – nilai filosofis dalam bentuk simbol – simbol
yang sarat dengan makna, betapa uniknya bangunan Kraton antara satu bangunan
dengan bangunan yang lain dan selalu memiliki keterkaitan hubungan, baik dalam
konteks harafiah maupun maknawiyah. Sehingga alangkah damainya hidup di
Yogyakarta jikalau generasi penerusnya mampu mencerna kearifan masa lalu dan
mengimplementasikan tanpa harus merusak struktur bangunan maupun nilai – nilai
yang telah ada.Saat ini masyarakat terusik dan diingatkan kembali akan ajaran
budaya yang terkait dengan jalan lurus menuju satu tujuan, yaitu Jalan Mulia
atau Margo Mulyo, dahulu kala jalan Malioboro bernama “Margo Mulyo” dan jalan
ini merupakan bagian penting dari Kraton Yogyakarta karena merupakan
“as-kosmis” atau “garis lmajiner” tegak lurus apabila dipandang dari Bangsal
Witono, Siti Hinggil, Kraton Yogyakarta, Alun-alun utara, Pangurakan menuju
Tugu Pal Putih “golong-gilig” dan Gunung Merapi. Sebelum menuju jalan utama,
land-scape Kraton ditengarai dengan adanya dua pohon beringin “Ringin Kurung”
yang bernama Kyai Dewa Daru dan Kyai Dewa Jana (konon kedua pohon ini diambil
dari Mojokerto, Mojopahit), Alun – alun utara merupakan bagian yang integral
dengan Masjid Agung, Kepatihan maupun Pasar Beringharjo, makna bangunan diatas
merupakan gambaran pilihan hidup bagi manusia dan kraton sebagai simbol
kekuasaan tidak bisa terlepas dari tanggung jawab raja sebagai “Khalifatullah”
yang memiliki kewajiban untuk mengantarkan masyarakatnya menuju kehidupan
akherat yang mulia “margo-mulyo”.Dimensi kehidupan manusia secara positif
maupun negatif disimbolisasikan dengan bangunan “masjid” dan “tugu pal putih”
yang mengajarkan ketauhidan (kebaikan) sedangkan “pasar” dan “kekuasaan” sebagai
simbol godaan (keburukan) bagi manusia yang akan berlomba-lomba dalam kebaikan
dan kebenaran “fastabiqul-qhoiroot”. Demikian halnya ketika Sang Raja bertahta
“lenggah sinewaka” pandangannya menghadap ke utara tegak lurus dari Tugu Pal
Putih menuju Gunung Merapi, cakrawala pandang yang luas nan jauh sebagaimana
setinggi gunung dan seluas samudera, merupakan “auto-sugesti” seorang raja yang
harus memiliki “keagungan-binathoro”, demikian halnya makna ketinggian tahta
yang berada diatas “Siti Hinggil” dan ditopang hamparan alun – alun utara yang
luas semakin mendukung kewibawaan seorang raja akan tahtanya.Akan tetapi,
setinggi apapun dan seluas apapun kekuasaan sang maha-raja, hanyalah tetap sebagai
manusia atau hamba Tuhan “Gabdullah” yang harus menjalankan perintah agama
“Sayyidin Panatagama” dalam melaksanakan tata pemerintahan yang berfungsi
sekaligus sebagai wakil Tuhan dimuka bumi “Khalifatullah”, oleh karena itu
tidak ada kekuasaan absolute, karena raja tetap diingatkan bahwa ada yang lebih
berkuasa darinya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa “ALif Mutakaliman Wachid” dengan
disimbolisasikan tugu Pal Putih “Golong-gilig”.,
5.
Kraton
Jogjakarta Sebagai akar Budaya Bangsa Indonesia
Dewasa ini
kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia
hampir punah dan di tinggalkan oleh generasi muda kita, Hampir semua lapisan
masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan daerah. Hal itu di sebabkan oleh
pengaruh budaya asing yang mudah di pelajari masuk kenegara kita dan sangat
jauh dari budaya ketimuran seperti budaya yang ada di Indonesia. Budaya barat
yang di anggap modern dan lebih mudah dipelajari telah melumpuhkan jiwa
patriotisme dan nasionalis bangsa Indonesia, contoh cara berpakaian para
muda-mudi sangat memprihatinkan dan jauh dari etika budaya ketimuran, Mereka
menganggap bahwa budaya kita sudah kuno dan kadaluwarsa sehingga mereka sangat
memuja budaya barat yang sebenarnya sangat bertentangan dengan norma dan adat
istiadat kita. Indonesia merupakan negara
yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda.
Akibat perbedaan itu menimbulkan berbagai macam kebudayaan yang berbeda pula.
Setiap kebudayaan memiliki sejarah masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan
yang ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, yaitu adalah Keraton Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta biasa juga di sebut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal secara
umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana resmi Kasultanan Yogyakarta sampai
tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan
Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat
provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti tahun 1755. Lokasi keraton konon merupakan bekas sebuah
pesanggrahan bernama Garjitawati, tempat istirahat iring-iringan janazah
raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Cerita lain menyebutkan lokasi keraton adalah sebuah mata air Umbul Pacethokan
yang berada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sri
Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Sleman. Secara fisik istana para Sultan
Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung
Utara), Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun,tari-tarian, gamelan,benda-benda pusaka dan
bersejarah. Sampai saat ini peninggalan -peningalan Kraton Yogyakarta masih
bisa kita lihat dan juga sebagai pengingat para generasi penerus bangsa agar
mereka tidak melupakan sejarah bangsa indonesia yang sudah ada sejak jaman
nenek moyang kita. Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga
bagi masyarakat Indonesia dan tentunya masyarakat Yogyakarta sendiri. Keraton
adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan apabila hilang, ciri khas Yogyakarta
juga akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area
Keraton tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan
budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah yang
membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan manca
negara. Maka dari itu, Keraton sebagai akar budaya bangsa Indonesia harus tetap
kita pertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya seperti tradisi
Grebeg,Jamasan Pusaka, Batik, Artefak-artefak dan banyak lagi peninggalan
kraton yang sangat bersejarah. Penulisan ini bertujuan sebagai wacana untuk
mengingatkan kembali kebudayaan yang hapir punah karena tergerus oleh
kebudayaan barat yang mungkin mudah di pahami dan tidak serumit kebudayaan di
negara kita, dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat akar budaya di
Indonesia masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaan bangsa. Selain itu,
makalah ini memuat fakta-fakta tentang Kraton Yogyakarta sebagai wadah untuk
melestarikan kebudayaan yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari sampai
saat ini. Peninggalan Kraton Yogyakarta yang berupa Kebudayaan berbentuk
kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang bersifat
abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan yang ada di Keraton
Yogyakarta merupakan pemikiran, filosofi, dan mitologi yang berkaitan dengan
pembangunannya.
Pemikiran
mengenai Keraton Yogyakarta dituangkan pada penataan tata ruang keraton,
termasuk pola dasar landascape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang
dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap bangunan, nama-nama benda-benda
pusaka, dan benda-benda lain yang ada di dalamnya masing-masing memiliki nilai
filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri. Selain itu Keraton Yogyakarta
memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara adat maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan
Dunia UNESCO
Kraton Yogyakarta menjadi salah satu akar budaya yang sangat
penting bagi Negara Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai
seorang warga Yogyakarta kita seharusnya dapat mengerti/mengenali dan memahami Kraton Yogyakarta dengan baik,
agar kita dapat menjawab dan menceritakan jika ditanya oleh wisatawan baik
domestik maupun wisatawan mancanegara mengenai
sejarah Kraton Yogyakarta. Karena didalam Kraton Yogyakarta terdapat banyak
sekali benda-benda peninggalan budaya zaman dahulu sampai sekarang. Sebagai generasi muda kita harus dapat
melestarikan warisan budaya, khususnya Kraton Yogyakarta. Dengan mengunjungi
kraton, melihat-lihat benda-benda peninggalan raja-raja. Selain itu kita juga
harus mengetahui sejarah raja yang dahulu sampaii sekarang yang memimpin Kraton
Yogyakarta. Dan tak lupa kita juga harus mengetahui upacara-upacara adat Kraton
Yogyakarta, misalnya Grebeg dan Sekaten yang selalu ada setiap tahunnya. Itu
semua harus kita lakukan supaya Kraton Yogyakarta yang merupakan akar budaya bangsa Indonesia ini tidak punah
dan masih bisa dilihat oleh generasi penerus bangsa sebagai modal dasar
pengetahuan para generasi muda maka pihak-pihak terkait dapat selalu
mengenalkan arti pentingnya melihat
peninggalan sejarah pada masa lampau yang masih bisa kita lihat dan kita
pelajari tidak hanya lewat buku tetapi juga kita bisa melihat langsung atau
mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
Marilah kita sebagai warga yang baik harus selalu merawat dan menjaga
peninggalan masa lalu dengan cara merawat dengan baik dan jangan sampai
tangan-tangan jahil mencorat-coret, merusak bahkan mengambil bagian tertentu
dari peninggalan bersejarah tersebut kami mohon Dinas Purbakala dan pihak-pihak
terkait untuk selalu bekerja sama memelihara serta mempromosikan agar supaya
peninggalan tersebut dapat di kenal tidak hanya oleh bangsa sendiri tetapi juga
oleh bangsa lain dan juga peningalan bersejarah bisa sebagai modal untuk
mengenalkan kebudayaan bangsa Indonesia kepada para wisatawan manca negara
untuk mengetahui bahkan mempelajarinya sehingga kita merasa bangga bahwa
kebudayaan kita dapat di pelajari dan di kenalkan tidak hanya oleh masyarakat
Indonesia tetapi juga oleh orang asing khususnya yang datang inggin mempelajari
dan mengenal lebih jauh kebudayaan Bangsa Indonesia.
URAIAN JAWABAN SOAL FILSAFAT BUDAYA
MATARAM
AKHIR SEMESTER GANJIL
TAHUN AJARAN 2013/2014
DOSEN
FILSAFAT BUDAYA MATARAM :
HERU
WAHYU KISMOYO, SIP. MS.i
DI
SUSUN OLEH :
MAHASISWA
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA :
FIRMAN
PRIBADI
131312178
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS
WIDYA MATARAM YOGYAKARTA
2013/2014