KERATON YOGYAKARTA
SEBAGAI AKAR BUDAYA BANGSA INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
A.
Latar Belakang
Dewasa
ini kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia
hampir punah dan di tinggalkan oleh generasi muda kita, Hampir semua lapisan
masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan daerah. Hal itu di sebabkan oleh
pengaruh budaya asing yang mudah di pelajari masuk kenegara kita dan sangat
jauh dari budaya ketimuran seperti budaya yang ada di Indonesia.
Budaya barat
yang di anggap modern dan lebih mudah dipelajari telah melumpuhkan jiwa patriotisme
dan nasionalis bangsa Indonesia, contoh cara berpakaian para muda-mudi sangat
memprihatinkan dan jauh dari etika budaya ketimuran, Mereka menganggap bahwa
budaya kita sudah kuno dan kadaluwarsa sehingga mereka sangat memuja budaya
barat yang sebenarnya sangat bertentangan dengan norma dan adat istiadat kita.
Indonesia merupakan negara yang terdiri
berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Akibat
perbedaan itu menimbulkan berbagai macam kebudayaan yang berbeda pula. Setiap
kebudayaan memiliki sejarah masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan yang ada
di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, yaitu adalah Keraton Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta biasa juga di sebut
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai
bangunan istana resmi Kasultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah
Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kasultanan Yogyakarta sebagai
sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti tahun 1755. Lokasi keraton konon merupakan bekas sebuah
pesanggrahan bernama Garjitawati, tempat istirahat iring-iringan janazah
raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Cerita lain menyebutkan lokasi keraton adalah sebuah mata air Umbul
Pacethokan yang berada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang
yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Sleman.
Secara fisik istana para Sultan
Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung
Utara), Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun,tari-tarian, gamelan,benda-benda pusaka dan
bersejarah. Sampai saat ini peninggalan -peningalan Kraton Yogyakarta masih
bisa kita lihat dan juga sebagai pengingat para generasi penerus bangsa agar
mereka tidak melupakan sejarah bangsa indonesia yang sudah ada sejak jaman
nenek moyang kita.
1.
B. Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai
wacana untuk mengingatkan kembali kebudayaan yang hapir punah karena tergerus
oleh kebudayaan barat yang mungkin mudah di pahami dan tidak serumit kebudayaan
di negara kita, dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat akar budaya di
Indonesia masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaan bangsa.
Selain itu, makalah ini memuat
fakta-fakta tentang Kraton Yogyakarta sebagai wadah untuk melestarikan
kebudayaan yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari sampai saat ini.
1. C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah
berjudul Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia, diantaranya
adalah :
Ø Menambah
wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai peninggalan Kraton Yogyakarta.
Ø Mengetahui
bahwa Kraton Yogyakarta masih eksis dalam melestarikan kebudayaan sampai
sekarang.
Ø Memahami
tentang unsur peningalan yang berada di
dalam Kraton Yogyakarta baik itu berupa tari-tarian,batik,pusaka,kitab-kitab,kereta
kencana,seperangkat gamelan,upacara-upacara adat dan peninggalan bernilai seni
tinggi lainya.
Ø Memudahkan
mahasiswa dalam memahami dan mempelajari kebudayaan dan peniggalan bersejarah
di dalam Kraton Yogyakarta.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
1
. Wujud Budaya di Keraton Yogyakarta
1) Gagasan
Peninggalan Kraton Yogyakarta yang
berupa Kebudayaan berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh.
Wujud kebudayaan yang ada di Keraton Yogyakarta merupakan pemikiran, filosofi,
dan mitologi yang berkaitan dengan pembangunannya.
Pemikiran mengenai Keraton Yogyakarta
dituangkan pada penataan tata ruang keraton, termasuk pola dasar landascape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang
dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap bangunan, nama-nama benda-benda
pusaka, dan benda-benda lain yang ada di dalamnya masing-masing memiliki nilai
filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri.
Selain itu Keraton
Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara adat maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
2) Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan
sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu.Wujud ini
sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat
tata krama.
Ada beberapa wujud kebudayaan berupa
aktivitas yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam berinteraksi, para penghuni
Keraton menggunakan bahasa jawa. Orang yang lebih muda dan/atau orang yang
berpangakat lebih rendah harus menggunakan bahasa jawa krama inggil kepada yang lebih tua dan/atau yang
berpangkat lebih tinggi. Sedangkan orang yang lebih tua dan/atau orang yang
berpangkat lebih tinggi menggunakan bahasa jawa ngoko/ngoko alus kepada yang lebih muda/berpangkat
lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang lebih muda dan/atau
berpangakat lebih rendah tidak boleh berjalan membelakangi orang yang lebih tua
dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi. Beberapa hal tersebut apabila
dilanggar akan dikenai sanksi atau hukuman berupa teguran atau cemooh karena
dianggap tidak sopan dan melanggar norma yang berlaku di dalam keraton dan di
kalangan masyarakat jawa pada umumnya.
Contoh wujud kebudayaan berupa
aktifitas yang lain adalah pemberian sesaji di ruang-ruang yang dianggap
keramat atau suci. Ini merupakan aktifitas rutin yang tidak boleh lupa
dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Selain itu, di Keraton Yogyakarta masih
diselenggarakan upacara-upacara adat yang terus dilaksankan hingga saat ini.
Upacara-upacara tersebut adalah Tumplak
Wajik, Grebeg, Sekaten, Jamasan Pusaka, dan
Labuhan.
3)
Artefak
(Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik
yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya seni semua manusia dalam
masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Beberapa artefak atau wujud kebudayaan
fisik di Keraton Yogyakarta adalah bangunan keraton beserta ruang-ruang yang
ada di dalamnya, Motif Busana Kraton dan
benda-benda pusaka keraton (contoh: keris, regalia,
gamelan, bendera dan panji kebesaran Keraton Yogyakarta, kereta kuda, batik,
dan lain-lain), gunungan yang ada pada saat diselenggerakannya upacara Grebeg, Mesjid Gedhe Kauman dan
Alun-alun Utara yang merupakan tempat diselenggarakannya upacara Grebeg dan sekaten,
dan acara sakral lainnya.
a) Upacar
grebek dan sekaten merupakan upacara sakral
Upacara
Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara adat yang diadakan sebagai
kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama Islam. Upacara yang
lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono I Pada tahun 1755 sampai
tahun 1792.
Nama grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan kepada rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg... grebeg...grebeg...
Nama grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan kepada rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg... grebeg...grebeg...
Upacara
Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan
dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg
Besar. Grebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton
setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan
Syawal. Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar, diselenggarakan untuk merayakan Idul
Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut
sebagai bulan besar.
Upacara
Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit keraton. Di dalam Keraton Yogyakarta,
terdapat sepuluh kelompok prajurit, yakni: Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh,
Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa.
Satu per satu, delapan kelompok prajurit keluar dari Siti Hinggil melewati
Pagelaran dan berhenti di Alun-alun Utara dengan formasi barisan khasnya.
Masing-masing kelompok menggunakan pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata
khusus, panji-panji, seraya memainkan alat musik. Usai delapan kelompok
prajurit keluar, barisan dilanjutkan dengan keluarnya Manggala Yudha (panglima
keraton). Di akhir parade, gunungan dibawa keluar dari Siti Hinggil dengan
diiringi oleh dua kelompok prajurit sisanya.
Gunungan
merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khas dalam
setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan
simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada
rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing
memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula.
Gunungan dharat merupakan gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar
berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan
ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan
gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam
kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan
hitam. Gunungan kutug/bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian
puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar
kemenyan. Gunungan lanang pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras
yang disebut mustaka (kepala). Gunungan ini terdiri dari rangkaian kacang
panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan. Gunungan wadon merupakan gunungan
yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan
pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun
pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
Gunungan-gunungan
ini kemudian dibawa menuju Alun-alun Utara. Saat itulah, prajurit keraton yang
sudah berbaris di sana memberikan salvo (tembakan serentak sejumlah senapan),
sebagai tanda penghormatan. Usai tanda penghormatan diberikan, dengan diiringi
oleh seluruh prajurit, gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman untuk
didoakan oleh penghulu masjid. Setelah didoakan, gunungan diturunkan agar bisa
diambil oleh pengunjung yang sudah menantikan kedatangannya di sekitar Masjid
Gedhe Kauman. Begitu diturunkan, pengunjung segera berebut untuk mengambil
makanan apapun yang disusun dalam gunungan. Mereka yang berebut makanan ini
percaya bahwa makanan yang ada dalam gunungan tersebut dapat mendatangkan
berkah dan kesejahteraan.
Beberapa
jenis makanan ada yang dipercaya jika ditanam di sawah ataupun di kebun dapat
menyuburkan tanah, sehingga hasil panennya akan baik.Keseluruhan Upacara Grebeg
diadakan di tiga tempat berbeda, namun letaknya berdekatan. Upacara berawal di
Pagelaran Keraton Yogyakarta, kemudian berjalan melewati Alun-alun Utara, dan
berakhir di Masjid Gedhe Kauman. Semuanya terletak di Kota Yogyakarta, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta bagian dari Negara Republik Indonesia.
b) Unsur penyajian
berbusana adat
Keraton Yogyakarta sebagai akar budaya
bangsa mempunyai motif busana sesuai dengan kedudukan atau jabatan pemakainya.Contoh
Busana Kraton Yogyakarta
Busana atau pakaian
adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan
norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat
Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Secara keseluruhan penampilan
busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan
legitimasi power dari pemakainya, Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat
kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena
itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan
dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri
satunya lahir dari garwa ampeyan (selir).
Beberapa corak kain tidak
diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan
raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik
motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk
tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau
dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan
pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda.
Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat
memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan.
Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk
menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi
standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat
(pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan),
udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera,
tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik).
Secara garis besar busana
sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana
untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana
resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit
misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan
tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan
hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan
(khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem,
Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).
Busana sehari-hari putri
sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu
sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala
nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala
nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan
supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan,baju surjan,
lonthong tritik,ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari
suwasa (emas berkadar rendah).
Untuk putri sultan
praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai
14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat
ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana
pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara
alit dan pinjung untuk upacara garebeg.
Untuk remaja dan dewasa
dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain
panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup
dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan
tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik
dengan tengahan.
Bagi pria remaja atau
dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di
tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup
kepala. Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra
sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana
kanigaran dan busana kaprajuritan. Berbagai
ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak
hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan
tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung
bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir,
menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam
antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung
pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir)
melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan
sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning
(biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang trimurti, tiga dewa
pemberi kehidupan.)
c) . Upacar jamasan atau mensucikan benda pusaka
Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta, keris, tombak dan semua benda pusaka peninggalan Kraton Yogyakarta wajib mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan Jamasan pusaka biasa di laksanakan tiap bulan sura di lingkungan Kraton Yogyakarta,Untuk Upacara Jamasan Kereta ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain.
Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta, keris, tombak dan semua benda pusaka peninggalan Kraton Yogyakarta wajib mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan Jamasan pusaka biasa di laksanakan tiap bulan sura di lingkungan Kraton Yogyakarta,Untuk Upacara Jamasan Kereta ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain.
Upacara Jamasan masih dilakukan hingga
saat ini karena merupakan tradisi khas dari Keraton Yogyakarta. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga kebersihan
kereta-kereta tersebut agar tetap terawat. Ini merupakan bentuk tanggung jawab
dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk membersihkan kereta-kereta tersebut
pada upacara Jamasan tersebut. Saat ini hanya ada beberapa kereta
kuda yang terdapat di Keraton Yogyakarta yang masih dipakai pada saat penobatan
raja dan sebagai kereta pengantar jenazah raja ke Makam Imogori. Kereta kuda
tidak lagi dipergunakan sebagai kendaraan sehari-hari penghuni keraton. Mereka sudah beralih kepada kendaraan bermesin seperti
mobil untuk kendaraan sehari-hari.
Dari bahasan di atas, terdapat sebuah
perubahan budaya secara akulturasi yaitu proses yang timbul apabila sekelompok
masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing
sehingga lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian asli. Walaupun saat ini penghuni keraton
sudah tidak lagi menggunakan kereta kuda untuk kendaraan sehari-hari, kereta
kuda tetap digunakan pada saat-saat tertentu. Jadi kereta kuda tidak sepenuhnya
ditinggalkan. Unsur budaya asing berupa alat transportasi mobil dapat masuk ke
Keraton Yogayakarta karena besar sekali kegunaannya. Selain lebih cepat
daripada kereta kuda, dengan mobil kita dapat pergi hingga luar kota tanpa
memakan waktu yang terlalu lama. Bentuk proses akulturasi yang terjadi dalam
kasus ini adalah originasi. Originasi merupakan perubahan yang membawa unsur
budaya yang betul-betul baru.
d). Apresiasi budaya
terhadap keraton yogyakarta
Keraton Yogyakarta pada awalnya
merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta. Sekitar
setahun setelah Kesultanan Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman diubah
statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi
pada tahun 1950, Keraton Yogyakarta mulai dipisahkan dari Pemerintah Daerah
Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku
Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi
pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mempunya hal yang
paling istimewa yang membedakan Keraton Yogyakarta degan Keraton/Istana
kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta sebagai Yang Dipertuan
Pemangku Tahta Adat/Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam
bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari
permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan
Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa
yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan
Gubernur/Kepala Daerah lainnya. Antara 1988-1998, Guberur Dareh Istimewa
Yogyakarta dijabat oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa yang juga penguasa Paku
Alaman. Setelah 1999, keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat
mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Derah Istimewa. Saat
ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Sultan Hamengku
Buwono X, Keraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta tidak hanya sebuah
simbol semata melainkan sebagai salah satu pusat akar budaya bangsa Indonesia
khususnya budaya jawa karena di Keraton Yogyakarta masih diadakan
tradisi-tradisi kebudayaan yang ada sejak awal mula Keraton berdiri. Sultan
sebagai pemangku adat tertinggi juga masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kehidupan masyarakat Yogyakarta. Masyarakat modern di Yogyakarta
masih banyak yang tunduk dengan apa yang diperintahkan Sultan. Apabila Sultan
mendapat tekanan dari pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta dengan siap
melindungi Sultan dari tekanan tersebut. Bahkan masyarakat di luar Yogyakarta
juga ikut menentang saat pemerintah mengeluarkan statement bahwa sistem pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini
merupakan sesuatu yang sangat menggemparkan karena pernyataan tersebut
merupakan pernyataan ketidaktahuan si pembuat pernyataan tentang perjanjian
yang dibuat oleh Indonesia dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1950.
Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu
yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia dan tentunya masyarakat
Yogyakarta sendiri. Keraton adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan apabila
hilang, ciri khas Yogyakarta juga akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area
Keraton tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan
budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah yang
membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan manca
negara. Maka dari itu, Keraton sebagai akar budaya
bangsa Indonesia
harus tetap kita pertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
1. A. Kesimpulan
Kraton
Yogyakarta menjadi salah satu akar budaya yang sangat penting bagi Negara Indonesia,
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai seorang warga Yogyakarta kita
seharusnya dapat mengerti/mengenali dan
memahami Kraton Yogyakarta dengan baik, agar kita dapat menjawab dan
menceritakan jika ditanya oleh wisatawan baik domestik maupun wisatawan
mancanegara mengenai sejarah Kraton
Yogyakarta. Karena didalam Kraton Yogyakarta terdapat banyak sekali benda-benda
peninggalan budaya zaman dahulu sampai sekarang. Sebagai generasi muda kita harus
dapat melestarikan warisan budaya, khususnya Kraton Yogyakarta. Dengan
mengunjungi kraton, melihat-lihat benda-benda peninggalan raja-raja. Selain itu
kita juga harus mengetahui sejarah raja yang dahulu sampai sekarang yang memimpin
Kraton Yogyakarta. Dan tak lupa kita juga harus mengetahui upacara-upacara adat
Kraton Yogyakarta, misalnya Grebeg dan Sekaten yang selalu ada setiap tahunnya.
Itu semua harus kita lakukan supaya Kraton Yogyakarta yang merupakan akar budaya bangsa Indonesia ini tidak punah
dan masih bisa dilihat oleh generasi penerus bangsa sebagai modal dasar
pengetahuan para generasi muda maka pihak-pihak terkait dapat selalu
mengenalkan arti pentingnya melihat
peninggalan sejarah pada masa lampau yang masih bisa kita lihat dan kita
pelajari tidak hanya lewat buku tetapi juga kita bisa melihat langsung atau
mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
1.
B. Saran
Saran dari kami ditujukan
kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat menjaga dan melestarikan
keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan bekas peninggalan sejarah yang
sangat berharga. Selain dari pada itu juga agar pemerintah lebih memperkenalkan
Keraton Yogyakarta khususnya kepada para generasi muda Indonesia dan umumnya
kepada semua masyarakat baik itu di desa maupun di kota-kota besar bahwasanya
kita masih bisa melihat salah satu peninggalan bersejarah dan sebagai cikal
bakal budaya bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat Budaya. 2006. Diakses dari www.wapedia.com.
Pada 29 September 2013 jam 20.00
(sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta
29 September 2013 jam 21.20 WIB)
(sumber :
http://www.enformasi.com/2009/02/busana-kraton-yogyakarta.html 30 September 2013
jam 19.40 WIB
(sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta
01 Oktober 2013
jam 20.25 WIB)