Friday, 3 January 2014

AKAR BUDAYA BANGSA INDONESIA TERCERMIN DARI SIKAP DAN TINGKAH LAKU MASYARAKAT INDONESIA ITU SENDIRI

KERATON YOGYAKARTA

SEBAGAI AKAR BUDAYA BANGSA INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN
1.      A.        Latar Belakang
Dewasa ini kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan di tinggalkan oleh generasi muda kita, Hampir semua lapisan masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan daerah. Hal itu di sebabkan oleh pengaruh budaya asing yang mudah di pelajari masuk kenegara kita dan sangat jauh dari budaya ketimuran seperti budaya yang ada di Indonesia.
Budaya barat yang di anggap modern dan lebih mudah dipelajari telah melumpuhkan jiwa patriotisme dan nasionalis bangsa Indonesia, contoh cara berpakaian para muda-mudi sangat memprihatinkan dan jauh dari etika budaya ketimuran, Mereka menganggap bahwa budaya kita sudah kuno dan kadaluwarsa sehingga mereka sangat memuja budaya barat yang sebenarnya sangat bertentangan dengan norma dan adat istiadat kita.
Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Akibat perbedaan itu menimbulkan berbagai macam kebudayaan yang berbeda pula. Setiap kebudayaan memiliki sejarah masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, yaitu adalah Keraton Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta biasa juga di sebut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana resmi Kasultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755. Lokasi keraton konon merupakan bekas sebuah pesanggrahan bernama Garjitawati, tempat istirahat iring-iringan janazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Cerita lain menyebutkan lokasi keraton adalah sebuah mata air Umbul Pacethokan yang berada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun,tari-tarian, gamelan,benda-benda pusaka dan bersejarah. Sampai saat ini peninggalan -peningalan Kraton Yogyakarta masih bisa kita lihat dan juga sebagai pengingat para generasi penerus bangsa agar mereka tidak melupakan sejarah bangsa indonesia yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita.

1.    B.        Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai wacana untuk mengingatkan kembali kebudayaan yang hapir punah karena tergerus oleh kebudayaan barat yang mungkin mudah di pahami dan tidak serumit kebudayaan di negara kita, dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat akar budaya di Indonesia masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaan bangsa.
Selain itu, makalah ini memuat fakta-fakta tentang Kraton Yogyakarta sebagai wadah untuk melestarikan kebudayaan yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari sampai saat ini.

1.    C.           Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah berjudul Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia, diantaranya adalah :
Ø  Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai peninggalan Kraton Yogyakarta.
Ø  Mengetahui bahwa Kraton Yogyakarta masih eksis dalam melestarikan kebudayaan sampai sekarang.
Ø  Memahami tentang unsur  peningalan yang berada di dalam Kraton Yogyakarta baik itu berupa tari-tarian,batik,pusaka,kitab-kitab,kereta kencana,seperangkat gamelan,upacara-upacara adat dan peninggalan bernilai seni tinggi lainya.
Ø  Memudahkan mahasiswa dalam memahami dan mempelajari kebudayaan dan peniggalan bersejarah di dalam Kraton Yogyakarta.

BAB II
PEMBAHASAN

1.      1 . Wujud Budaya di Keraton Yogyakarta

1)      Gagasan
Peninggalan Kraton Yogyakarta yang berupa Kebudayaan berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan yang ada di Keraton Yogyakarta merupakan pemikiran, filosofi, dan mitologi yang berkaitan dengan pembangunannya.
Pemikiran mengenai Keraton Yogyakarta dituangkan pada penataan tata ruang keraton, termasuk pola dasar landascape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap bangunan, nama-nama benda-benda pusaka, dan benda-benda lain yang ada di dalamnya masing-masing memiliki nilai filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri.
Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk  upacara adat maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

2)        Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu.Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata krama.
Ada beberapa wujud kebudayaan berupa aktivitas yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam berinteraksi, para penghuni Keraton menggunakan bahasa jawa. Orang yang lebih muda dan/atau orang yang berpangakat lebih rendah harus menggunakan bahasa jawa krama inggil kepada yang lebih tua dan/atau yang berpangkat lebih tinggi. Sedangkan orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi menggunakan bahasa jawa ngoko/ngoko alus kepada yang lebih muda/berpangkat lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang lebih muda dan/atau berpangakat lebih rendah tidak boleh berjalan membelakangi orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi. Beberapa hal tersebut apabila dilanggar akan dikenai sanksi atau hukuman berupa teguran atau cemooh karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma yang berlaku di dalam keraton dan di kalangan masyarakat jawa pada umumnya.
Contoh wujud kebudayaan berupa aktifitas yang lain adalah pemberian sesaji di ruang-ruang yang dianggap keramat atau suci. Ini merupakan aktifitas rutin yang tidak boleh lupa dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Selain itu, di Keraton Yogyakarta masih diselenggarakan upacara-upacara adat yang terus dilaksankan hingga saat ini. Upacara-upacara tersebut adalah Tumplak Wajik, Grebeg, Sekaten, Jamasan Pusaka, dan Labuhan.

3)      Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya seni semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Beberapa artefak atau wujud kebudayaan fisik di Keraton Yogyakarta adalah bangunan keraton beserta ruang-ruang yang ada di dalamnya, Motif Busana Kraton  dan benda-benda pusaka keraton (contoh: keris, regalia, gamelan, bendera dan panji kebesaran Keraton Yogyakarta, kereta kuda, batik, dan lain-lain), gunungan yang ada pada saat diselenggerakannya upacara Grebeg, Mesjid Gedhe Kauman dan Alun-alun Utara yang merupakan tempat diselenggarakannya upacara Grebeg dan sekaten, dan acara sakral lainnya.

a)      Upacar grebek dan sekaten merupakan upacara sakral
Upacara Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara adat yang diadakan sebagai kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama Islam. Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I Pada tahun  1755 sampai tahun 1792.
Nama grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan kepada rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg... grebeg...grebeg...
Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan Syawal. Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar, diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut sebagai bulan besar.
Upacara Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit keraton. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat sepuluh kelompok prajurit, yakni: Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Satu per satu, delapan kelompok prajurit keluar dari Siti Hinggil melewati Pagelaran dan berhenti di Alun-alun Utara dengan formasi barisan khasnya. Masing-masing kelompok menggunakan pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata khusus, panji-panji, seraya memainkan alat musik. Usai delapan kelompok prajurit keluar, barisan dilanjutkan dengan keluarnya Manggala Yudha (panglima keraton). Di akhir parade, gunungan dibawa keluar dari Siti Hinggil dengan diiringi oleh dua kelompok prajurit sisanya.
Gunungan merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khas dalam setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula. Gunungan dharat merupakan gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan kutug/bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar kemenyan. Gunungan lanang pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut mustaka (kepala). Gunungan ini terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan. Gunungan wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih.
Gunungan-gunungan ini kemudian dibawa menuju Alun-alun Utara. Saat itulah, prajurit keraton yang sudah berbaris di sana memberikan salvo (tembakan serentak sejumlah senapan), sebagai tanda penghormatan. Usai tanda penghormatan diberikan, dengan diiringi oleh seluruh prajurit, gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan oleh penghulu masjid. Setelah didoakan, gunungan diturunkan agar bisa diambil oleh pengunjung yang sudah menantikan kedatangannya di sekitar Masjid Gedhe Kauman. Begitu diturunkan, pengunjung segera berebut untuk mengambil makanan apapun yang disusun dalam gunungan. Mereka yang berebut makanan ini percaya bahwa makanan yang ada dalam gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah dan kesejahteraan.
Beberapa jenis makanan ada yang dipercaya jika ditanam di sawah ataupun di kebun dapat menyuburkan tanah, sehingga hasil panennya akan baik.Keseluruhan Upacara Grebeg diadakan di tiga tempat berbeda, namun letaknya berdekatan. Upacara berawal di Pagelaran Keraton Yogyakarta, kemudian berjalan melewati Alun-alun Utara, dan berakhir di Masjid Gedhe Kauman. Semuanya terletak di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bagian dari Negara Republik Indonesia.

b)      Unsur penyajian berbusana adat
Keraton Yogyakarta sebagai akar budaya bangsa mempunyai motif busana sesuai dengan kedudukan atau jabatan pemakainya.Contoh Busana Kraton Yogyakarta      
Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya, Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri satunya lahir dari garwa ampeyan (selir).        
Beberapa corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik motif  kawung dan motif  huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan liris (artinya hujan gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik).
Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja).          
Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan,baju surjan, lonthong tritik,ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari suwasa (emas berkadar rendah).       
Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg.
Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan.       
Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala. Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan.         Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.)

c) . Upacar jamasan atau mensucikan benda pusaka       
Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta, keris, tombak  dan semua benda pusaka peninggalan Kraton Yogyakarta wajib mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan Jamasan pusaka biasa di laksanakan tiap bulan sura di lingkungan Kraton Yogyakarta,Untuk Upacara Jamasan Kereta ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain.
Upacara Jamasan masih dilakukan hingga saat ini karena merupakan tradisi khas dari Keraton Yogyakarta. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga kebersihan kereta-kereta tersebut agar tetap terawat. Ini merupakan bentuk tanggung jawab dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk membersihkan kereta-kereta tersebut pada upacara Jamasan tersebut. Saat ini hanya ada beberapa kereta kuda yang terdapat di Keraton Yogyakarta yang masih dipakai pada saat penobatan raja dan sebagai kereta pengantar jenazah raja ke Makam Imogori. Kereta kuda tidak lagi dipergunakan sebagai kendaraan sehari-hari penghuni keraton. Mereka sudah beralih kepada kendaraan bermesin seperti mobil untuk kendaraan sehari-hari.
Dari bahasan di atas, terdapat sebuah perubahan budaya secara akulturasi yaitu proses yang timbul apabila sekelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing sehingga lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian asli. Walaupun saat ini penghuni keraton sudah tidak lagi menggunakan kereta kuda untuk kendaraan sehari-hari, kereta kuda tetap digunakan pada saat-saat tertentu. Jadi kereta kuda tidak sepenuhnya ditinggalkan. Unsur budaya asing berupa alat transportasi mobil dapat masuk ke Keraton Yogayakarta karena besar sekali kegunaannya. Selain lebih cepat daripada kereta kuda, dengan mobil kita dapat pergi hingga luar kota tanpa memakan waktu yang terlalu lama. Bentuk proses akulturasi yang terjadi dalam kasus ini adalah originasi. Originasi merupakan perubahan yang membawa unsur budaya yang betul-betul baru.

d).    Apresiasi budaya terhadap keraton yogyakarta
Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta. Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada tahun 1950, Keraton Yogyakarta mulai dipisahkan dari Pemerintah Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mempunya hal yang paling istimewa yang membedakan Keraton Yogyakarta degan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat/Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya. Antara 1988-1998, Guberur Dareh Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa yang juga penguasa Paku Alaman. Setelah 1999, keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Derah Istimewa. Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Keraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta tidak hanya sebuah simbol semata melainkan sebagai salah satu pusat akar budaya bangsa Indonesia khususnya budaya jawa karena di Keraton Yogyakarta masih diadakan tradisi-tradisi kebudayaan yang ada sejak awal mula Keraton berdiri. Sultan sebagai pemangku adat tertinggi juga masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta. Masyarakat modern di Yogyakarta masih banyak yang tunduk dengan apa yang diperintahkan Sultan. Apabila Sultan mendapat tekanan dari pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta dengan siap melindungi Sultan dari tekanan tersebut. Bahkan masyarakat di luar Yogyakarta juga ikut menentang saat pemerintah mengeluarkan statement bahwa sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggemparkan karena pernyataan tersebut merupakan pernyataan ketidaktahuan si pembuat pernyataan tentang perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1950.
Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia dan tentunya masyarakat Yogyakarta sendiri. Keraton adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan apabila hilang, ciri khas Yogyakarta juga akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area Keraton tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah yang membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan manca negara. Maka dari itu, Keraton sebagai akar budaya bangsa Indonesia harus tetap kita pertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.



BAB III
PENUTUP
1.      A.      Kesimpulan
       Kraton Yogyakarta menjadi salah satu akar budaya yang sangat penting bagi Negara Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai seorang warga Yogyakarta kita seharusnya dapat mengerti/mengenali  dan memahami Kraton Yogyakarta dengan baik, agar kita dapat menjawab dan menceritakan jika ditanya oleh wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara mengenai  sejarah Kraton Yogyakarta. Karena didalam Kraton Yogyakarta terdapat banyak sekali benda-benda peninggalan budaya zaman dahulu sampai sekarang.       Sebagai generasi muda kita harus dapat melestarikan warisan budaya, khususnya Kraton Yogyakarta. Dengan mengunjungi kraton, melihat-lihat benda-benda peninggalan raja-raja. Selain itu kita juga harus mengetahui sejarah raja yang dahulu sampai sekarang yang memimpin Kraton Yogyakarta. Dan tak lupa kita juga harus mengetahui upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta, misalnya Grebeg dan Sekaten yang selalu ada setiap tahunnya. Itu semua harus kita lakukan supaya Kraton Yogyakarta yang merupakan  akar budaya bangsa Indonesia ini tidak punah dan masih bisa dilihat oleh generasi penerus bangsa sebagai modal dasar pengetahuan para generasi muda maka pihak-pihak terkait dapat selalu mengenalkan arti pentingnya melihat  peninggalan sejarah pada masa lampau yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari tidak hanya lewat buku tetapi juga kita bisa melihat langsung atau mengunjungi tempat-tempat  bersejarah.

1.      B.       Saran
Saran dari kami ditujukan kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat menjaga dan melestarikan keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan bekas peninggalan sejarah yang sangat berharga. Selain dari pada itu juga agar pemerintah lebih memperkenalkan Keraton Yogyakarta khususnya kepada para generasi muda Indonesia dan umumnya kepada semua masyarakat baik itu di desa maupun di kota-kota besar bahwasanya kita masih bisa melihat salah satu peninggalan bersejarah dan sebagai cikal bakal budaya bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat Budaya. 2006. Diakses dari www.wapedia.com. Pada 29 September 2013 jam 20.00
 (sumber : http://www.enformasi.com/2009/02/busana-kraton-yogyakarta.html 30 September 2013 jam 19.40 WIB


DEMOKRASI DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN
DAN
PARTISIPASI POLITIK

RESUM MODUL



DEMOKRASI DAN PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM NEGARA DAN PARTISIPASI POLITIK

Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos ( rakyat), dan kratos atau kratain (kekuasaan). Jadi, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau govermen of ruler by tehe people. Sedangkan pengelompokan Demokrasai secara srderhana dapat di bagi menjadi 2 (dua) aliran, Yaitu demokrasi kontitusional dan demokrasi komunis. Perbedaan yang fundamental dari kedua aliran tersebut adalah bahwa demokrasi kontitusional mencita-citakan suatu pemerintahan yang terbatas kekuasaanya atau suatu negara hukum (rechtstaat) yang tunduk kepada aturan hukum (rule of law), sedangkan demokrasi yang mendasarkan diri pada komunisme mencita-citakan suatu pemerintahan yang tidak demokratis bahkan sering bersifat totaliter.
Meskipun secara konsep tentang demokrasi dapat dapat di bagi menjadi dua aliran, namun sesungguhnya gagasan yang di kemukakan pakar politik sungguh sangat banyak. Namun konsep tentang demokrasi terdapat satu gagasan yang diambil yaitu bahwa demokrasai haruslah mampu menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik,baik hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara eksekutif dan legislatif atau antara kepentungan sosial ekonomi dengan kepentingan politik. Dengan kata lain demokrasi hendaknya mampu memujudkan esensinya sebagai bentuk pemerintah dalam mengambil suatu keputusan yang penting ditentukan oleh suara terbanyak, bukan suara atau kepentingan sepihak,Walaupun dalam prakteknya akan muncul kesenjangan antara konsep ideal besarnya kesenjangan itu tergantung kepada tingkat kematangan berpikir dan kualitas komitmen penyelengara negara serta kedewasaan berdemokrasi masyarakat., Demokrasai bukanya terletak kepada upaya bagaimana memberikan kebebasan sebesar-besarnya kepada rakyat, melainkan masalah upaya membatasai kekuasaan yang dijalankan daan dipegang oleh pemerintah, Meriam Budiardjo ( 1992 : 52 ) mengatakan bahwa gagasan pemerintah yang demokrasis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaanya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenan terhadap warga negaranya, Ali Masykur Musa (1993) menyarankan upaya dua arah dalam membangun tatanan demokrasi di suatu negara pertama, dari arah struktur atas (pemerintah) perlu membersihkan polusi political enviroment, kedua dari struktur bawah (masyarakat) perlu diupayakan kontinuitas pendidikan politik secara kuatif agar budaya politik kian matang.
Kesepakatan umum mengenai makna dan devinisi kekuasan di kembangkan dari rumusan Laswell dan Kaplan dalam karya mereka yang berjudul Power and Socierty ( yale Up, 1950), Dalam kaitan ini, Ossip Flechtheim dalam bukunya Fundamentals of Political Science memandang kekuasaan sebagai suatu nilai yang melekat pada hubungan-hubungan sosial maupu hubungan organisasi, Disamping kekuasaan sosial, dikenal pula konsep kekuasaan politik yaitu kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah)baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Beberapa kekuasaan yang diungkapkan oleh para ahli politik , sebagai mana di invetantarisir oleh Budiarjo (1994 ; 92-94) antara lain sebagai berikut :
1.      Kekuasaan adalah kemampuan untuk dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemauan ini ( Max Weber,Wirtschaft und Gesselschaft, 1992)
2.      Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasai alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama( Van Doorn, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht, 1957)
3.      Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak mengubah (seluruh atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau memilih ,yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain ( Mokken, Power and Influence as politikcal Phenomena, 1976)
4.      Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sitem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif dan jika ada perlawanan maka pemaksaan melalui saksi-saksi negatif dianggap wajar terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu ( Talcott Parsons, The Distribution of Power in America Society, 1957).
Khusus merupakan sumber-sumber kekuasaan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah teori kedaulatan di dunia yang menunjukkan suatu kenyataan bergesernya arah-arap paham-paham kenegaraan dan masyarakat dari non demokratis kepada demokratis, dalam Ilmu Negara muncul kedaulatan tuhan, ajaran yang sangat identik dengan teori kedaulatan ada di tangan tuhan dan diturunkan kepada tuhan dengan wahyu ilahi. Ajaran ini mengandung kelemahan ketika  raja turun tahta maka seketika itu ia bukan kepala negara lagi dan ia kehilangan kewibawaandan kedaulatan. Ketiga ajaran tentang kedaulatan dapat dilihat dari proses demokratisasi dalam arti selalu diupayakan menghilangkan absolutisme dan memperhatikan kepentingan orang banyak, meskipun banyak gagasan tentang pembatasan kekuasaan oleh hukum namun peran rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Pembatasan kekuasaan dan pembagian kekuasaan jelas tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Montesquieu ( Charles Louis de Secondat) mengemukakan dua gagasan pokok mengenai pemerintahan yakni tentang pemisahan kekuasaan (Separation of power) dan gagasan tentang hukum yakni membuat pemisahan tentang perbedaan secara tajam antara kekuasan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Pandangan inilah kemudian di kenal dengan ajaran Trias Politika. Pembagian kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga kelompok mutlak harus diadakan , dengan adanya pemisah secara ketat akan dijamin adanya kebebasan dari masing-masing kekuatan. Montesquieu menandaskan perlunya hukum sebagai salah satu instrumen negara atau pemerintah demokrasi, dengan adanya hukum dan pemerintahan dapat melindungi warga negaranya, sekaligus dapat menjamin adanya permainan kepentingan dalam lingkup yang luas diantara mereka dan pemerintah.
Proses demokrasi dalam suatu negara harus di tunjukan pada upaya pencerahan rakyat, rakyat harus di bangkitkan kesadaran,kedewasaan serta wawasan atau pemahamannya terhadap realita politik normatif dan politik empirik. Upaya ini dapat ditempuh melalui peningkatan partisipasi evektif masyarakat,kontrol terhadap agenda publik, persamaan kedudukan dalam pemilihan umum dan pengambilan keputusan. Salah satu perwujudan dari negara demokrasi, salah satu pilar utamanya adalah kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi,pemikiran maupun kepentinganya. Munculnya wacana partisipasi dalam terminologi politik konteporer, jelas tidak dapat dipisahkan dari sejarah nasional yang dialami oleh bangsa-bangsa di dunia khususnya negara-negara berkembang, Negara-negara berkembang merupakan negara bekas jajahan sehingga masyarakatnya telah terkondisi dengan kehidupan politik yang statis dan mandeg, Fenomena demikian terkait dengan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat rendah dalam pembangunan, baik sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pemanfaatannya.
Munculnya kebijakan baru untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kaitanya dengan kebutuhan ,kehendak dan tuntutan untuk berpatisipasi masyarakat melahirkan berbagai bentuk kekuatan yang berpotensi mendorong kemandirian. Teoristik, Rauf (1990:6) mengutip pemikiran Eston, mengemukakan tiga penyebab berkembangnya studi partisipasi politik .
1. Partisipasi politik adalah kewajiban setiap warga negara dalam arti masyarakat tidak dirugikan oleh adanya keputusan politik penguasa.
2. Adanya keperdulian para ilmuwan politik barat terhadap pelaksanaan ide demokrasitidak saja di negara maju tetapi juga di negara dunia ketiga.
3. Yang mendorong studi partisipasi politik adalah keinginan para ilmuwan politik untuk menjadikan ilmu politik lebih ilmiah. Pada bagian lain huntington (1994; 16-18) mengemukakan tentang bentuk partisipasi politik secara lebih detil sebagi berikut:
1.      Kegiatan pemilihan, yang merupakan pemberian suara,sumbangan pada kampanye,bekerja dalam pemilihan umum,mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.
2.      Lobbying, yang mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok dalam menghubungi pejabat politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka yang menyangkut orang banyak.
3.      Kegiatan organisasi, menyangkut kegiatan partisipasisebagai anggota suatu organisasi yang juga memiliki tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4.      Mencari koneksi (contatacting), yaitu tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah untuk memperoleh manfaat bagi hanya seseoranag atau segelintir orang.
5.      Tindak kekerasan (violance), yaitu suatu upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Dalam kontek partisipasi politik di Indonesia, bahwa tingkat partisipasi politik tinggi terjadi di masa berlakunya demokrasi kontitusional, untuk merealisasikan hak berpartisipasi bagi masyarakat,negara mengembangkat berbagai wadah mulai dari kelompok kepentingan,ormas,partai politik dan lembaga perwakilan politik otonom dan fungsional.Namut pada demokrasi terpimpin partisipasi masyarakat mulai di kontrol dan diarahkan untuk kepentingan penguasa dan kepentingan pemerintah atas nama kepentingan umum. Pada masa itu dilakukan pembatasan partai politik denganjalan memberikan peran yang sama kepada militer, birokrat dan kekuasaan masyarakat sipil mulai pembentukan golongan fungsional. Merngenai perwadahan atau perlembagaan partisipasi politik masyarakat, tidak dapat dipisahkan dari teori perwakilan politik. Perwakilan sendiri diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan berkenaan dengan kesepakatan yang di buatnya dengan terwakili.
Orientasi studi terhadap badan legislatif ini berkembang menjadi 3 tahapan, yaitu orientasi kelembagaan (institusional), proses (process), dan tingkah laku (behavior). Pendekatan kelembagaan meninjau parlemen dari struktur dan fungsi utamanya. Sedangkan pendekatan proses melihat obyek studi ini melalui proses pembuatan keputusan sebagai fungsi utamanya. Adapun penelitian berdasarkan tingkah laku memperhatikan sikap dan tingkah laku para anggota parlemen dalam menghasilkan keputusannya.

Dengan mengetahui berbagai aspek tentang partisipasi politik dab perwakilan politik, maka  upaya-upaya untuk meningkatkan vitalitas badan legislatif bersama profesionalisme anggotanya dapat tepat dan mengenai sasaran.
PARTISIPASI POLITIK 
MENCAKUP INFRASTRUKTUR POLITIK MEWADAHI PARTISIPASI
MODEL-MODEL PARTISIPASI DAN KEDEWASAAN MASYARAKAT BERPOLITIK


BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Menjelang pemilu tahun 2014, wacana mengenai siapa calon presiden yang tepat memimpin Indonesia, menjadi topik yang selalu menarik dibicarakan. Perbincangan mengenai politik kini tidak hanya terjadi di kalangan anggota DPR, maupun para elit politik serta para akademisi di forum seminar atau perkuliahan, tetapi juga terjadi di warung angkringan, tempat ronda, pasar dan tempat-tempat berkumpulnya masyarakat. Sebagian masyarakat masih punya harapan bahwa pemilihan presiden mendatang akan membawa perubahan bagi mereka, namun sebagian yang lain sudah pesimis, karena bagi sebagian mereka, pemilihan presiden hanya sekedar formalitas belaka yang tidak membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan rakyat, Masyarakat kita sudah mempunyai penilaian sendiri terhadap setiap calon presiden, dan calon wakil yang hanya mementingkan partai politik yang membesarkan namanya dan tidak menghiraukan nasib rakyat, bahkan banyak  publik figur yang terkenal santun yang terkena kasus korupsi sehingga rakyat merasa dikhianati .
 Rakyat menilai dengan bergantinya presiden atau anggota legislatif tidak akan serta merta mengubah nasib mereka yang selama ini terbelengu dalam rezim penindasan yang tidak ketara yang mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan dimana-mana akibatnya banyak tindak kejahatan yang merajalela dan para generasi muda bangsa Indonesia tersangkut kasus-kasus kriminal.
Di sisi lain, banyak masyarakat yang menggunakan hak pilihnya hanya berdasarkan pada serangan fajar atau suap berupa uang atau sembako yang di berikan menjelang pemilihan calon presiden dan calon legislatif, bahkan masyarakat kita mudah terprovokasi sehingga mudah terjadi konflik antar pendukung satu calon dengan pendukung calon yang lainnya.
Lalu bagaimana sebenarnya kesiapan infrastruktur politik yang mewadahi partisipasi? Bagaimanakah model-model partisipasi masyarakat dalam berpolitik, dan bagaimana pula menumbuhkan kedewasaan masyarakat dalam berpolitik?


BAB II
DESKRIPSI
A.      Kesiapan infrastruktur politik yang mewadahi partisipasi
Didalam suatu kehidupan politik rakyat, akan selalu ada keterkaitan atau hubungan dengan kelompok-kelompok lain ke dalam berbagai macam golongan yang biasanya disebut “kekuatan sosial politik masyarakat”. Kelompok masyarakat tersebut yang merupakan kekuatan politik riil didalam masyarakat, disebut “infrastruktur politik”. Berdasakan teori politik, infrastruktur politik mencakup 5 (lima) unsur atau komponen sebagai berikut :
a. Partai politik ( political party )
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan.
b. Kelompok kepentingan (interest group)
Kelompok kepentingan (interest group), dalam gerak langkahnya akan sangat tergantung pada sistem kepartaian yang diterapkan dalam suatu negara.
c. Kelompok Penekan (pressure group)
Kelompok penekan merupakan salah satu institusi politik yang dapat dipergunakan oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kebutuhannya dengan sasaran akhir adalah untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kebijakan pemerintah. Kelompok penekan dapat terhimpun dalam beberapa asosiasi yang mempunyai kepentingan sama, antara lain :
a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b. Organisasi-organisasi sosial keagamaan
c. Organisasi kepemudaan
d. Organisasi Lingkungan Kehidupan
e. Organisasi pembela Hukum dan HAM
f. Yayasan atau Badan hukum lainnya,
d. Media komunikasi politik (political communication media)
Media komunikasi politik merupakan salah satu instrument politik yang dapat berfungsi untuk menyampaikan informasi dan persuasi mengenai politik baik dari pemerintah kepada masyarakat maupun sebaliknya. Media komunikasi seperti surat kabar, telepon, fax, internet, televise, radio, film, dan sebagainya dapat memainkan peran penting terhadap penyampaian informasi serta pembentukan/mengubah pendapat umum dan sikap politik publik.
e. Tokoh Politik (political/figure)
Pengangkatan tokoh-tokoh merupakan proses transformasi seleksi terhadap anggota-anggota masyarakat dari berbagai sub-kluktur, keagamaan, status sosial, kelas, dan atas dasar kesukuan dan kualifikasi tertentu, yang kemudian memperkenalkan mereka pada peran-peran khusus dalam sistem politik.
B.     Model-model partisipasi masyarakat
Satu isu terkadang dapat mengakibatkan aksi dalam berbagai bentuk. baik itu pro dan kontra dengan berbagai cara seperti kampanye, poster , aksi legal, petisi, pertemuan publik, demonstrasi, boykot bahkan pembunuhan.    
Partisipasi politik yang biasa adalah sebuah keterlibatan politik dimana individu menyampaikan aspirasi politik melalui pejabat publik menggunakan saluran partisipasi. Seperti pemilu, dan aktifitas kelompok kepentingan.               
Sedangkan partisipasi politik yang tidak biasa adalah sebuah partisipasi politik yang dilakukan masyarakat tanpa melalui elit politik ataupun melalui aksi langsung. Ada beberapa cara yang umum dilakukan dalam partisipasi politik dan mengeluarkan pendapat untuk memilih wakil-wakil yang kita kehendaki.
1. Voting        
    Voting (Pemberian suara) merupakan suatu hal yang umum dalam partisipasi politik terutama dalam pemilu. Karena pentingnya pemilu sebagai bentuk partisipasi, menjadi penting juga untuk mengetahui bagaiamana rakyat memilih dan menggunakan suara mereka dan bagaimana suara tersebut berdampak terhadap hasil dari pemilu
2. Sistem pemilu         
    Ada beberapa cara penataan proses pemungutan suara, dan pemilihan sebuah sistem akan mempengaruhi hasil pemilu. Sistem pemilu yang sederhana dan paling mudah adalah dengan membagi negara menjadi distrik-distrik (kabupaten) dengan populasi jumlah penduduk yang kurang lebih sama dan memilih seorang wakil untuk duduk di badan legislatif tingkat distrik tersebut. Bilamana seorang calon mendapatkan suara terbanyak ia akan menang dan terpilih terlepas dari apakah suara tersebut sudah mewakili mayoritas masyarkat atau belum. Sistem ini dikenal sebagai sistem “distrik calon tunggal”.
C.  Kedewasaan masyarakat berpolitik
Menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, masyarakat perlu meningkatkan kedewasaan dan kesadaran berpolitik agar kualitas demokrasi semakin baik. Mengingat perkembangan dan dinamika sosial politik menjelang Pemilu 2014 sangat tinggi, seluruh pemangku kepentingan perlu mengendalikan kegiatan politiknya agar tidak menganggu publik.
Kejadian-kejadian buruk berupa kerusuhan yang terjadi pada pemilihan kepala daerah di Indonesia yang selalu berakhir rusuh mengakibatkan kemunduran jauh ke belakang, baik dari sisi kedewasaan dalam melakukan aktivitas politik maupun peran serta masyarakat untuk menghancurkan sendiri fasilitas-fasilitas umum kantor-kantor pemerintahan, yang pembangunan sebenarnya menggunakan uang rakyat yang di pungut pemerintah lewat pajak dan di kembalikan kepada rakyat lewat pembangunan infrastruktur bagi kepentingan orang banyak.
       Harus disadari, masyarakat lain harus dihormati pilihannya. Kalau ada kelompok lain yang jumlah pemilihnya lebih besar, harus dihormati. Jadi kesadaran masyarakat harus ditingkatkan. Tidak terbawa pengaruh anarkis akibatnya justru mencoreng pesta demokrasi itu sendiri.
Dalam Pemilu 2014, peran serta masyarakat dalam mengunakan hak pilihnya  juga merupakan bagian dari pesta demokrasi. Masyarakat harus dapat menentukan pilihannya yang baik dan sesuai dengan hati nurani tanpa di arahkan untuk memilih salah satu calon hanya karena di berikan imbalan baik itu berupa uang, sambako dan janji-janji manis para calon yang belum tentu terealisasi, sehingga kualitas Pemilu akan lebih baik dan menghasilakan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas baik itu anggota legislatif serta pasangan presiden dan wakil presiden yang dapat memenuhi harapan seluruh masyarakat Indonesia.
Maka dari itu kita sebagai warga negara yang baik harus selalu berperan aktif dalam menyukseskan Pemilu baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden tanpa mau di arahkan untuk memilih salah satu calon legislatif atau calon presiden dan wakil presiden hanya karena sejumlah uang atau pun janji-janji yang belum pasti yang hanya menjerumuskan ke jurang kemiskinan.
BAB III
PENUTUP
D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa peran serta masyarakat sangat di harapkan dalam memberikan hak suaranya demi tercapanya cita-cita bangsa yang selama ini belum terwujud akibat banyaknya pemimpin yang di anggap santun terkena kasus korupsi dan dimana menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap wakil-wakil rakyat. Karena masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan eksekutif dan legislatif baik dipemerintah pusat maupun daerah. Di mana masyarakat kita sudah pandai dalam menentukan hak pilih kepada para calon-calon yang akan membawa kemakmuran dimasa mendatang dengan menghindari suap baik berupa uang atau sembako serta janji-janji pada waktu kampanye yang entah kapan akan di tepati oleh para calon yang terpilih.

E.   Saran
1. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar masyarakat pahan terhadap politik dan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan politik termasuk pemilihan umum.
2. Mengadakan sosialisasi pentingnya berpendapat atau mengunakan hak pilih demi tercapainya cita-cita bangsa dan negara.
3. Masyarakat di himbau hati-hati bila mana ada calon-calon yang mengunakan politik-politik kotor misal dengan memberikan imbalan tertentu sesuai dengan arahan untuk memilih calon-calon atau partai-partai tertentu.
4. Masyarakat dihimbau agar tidak mempercayai akan janji-janji manis calon-calon atau partai-partai pada saat berkampanye.
5. Para Pemilih jangan sampai terkecok dengan tampilan para pemimpin yang kelihatan santun dan hanya pintar orasi tetapi tidak bisa membawa aspirasi masyarakat dan hanya mementingkan diri sendiri dan golonganya.




DAFTAR REFRENSI